Selasa, 21 Januari 2014

Suku Minahasa


1        Asal Usul Suku Minahasa
Daerah Minahasa di Sulawesi Utara diperkirakan pertama kali telah dihuni oleh manusia sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Para peneliti memperkirakan suku bangsa Minahasa berasal dari Formosa Taiwan, keturunan suku bangsa Austronesia dari Formosa Taiwan, yang melakukan perjalanan panjang melalui Filipina dan terus ke Sulawesi. Banyak terdapat kemiripan bahasa dari bahasa Minahasa dengan bahasa-bahasa di Formosa Taiwan

Menurut pendapat Tandean, seorang ahli bahasa dan huruf Tionghoa Kuno, 1997, melakukan penelitian pada Watu Pinawetengan. Melalui tulisan “Min Nan Tou” yang terdapat di batu itu, ia mengungkapkan, Tou Minahasa diperkirakan merupakan keturunan Raja Ming yang berasal dari tanah Mongolia, yang datang berimigrasi ke Minahasa. Arti dari Min Nan Tou adalah “orang turunan Raja Ming". Tapi pendapat tersebut dianggap lemah menurut David DS Lumoindong, karena kalau Minahasa memang berasal dari keturunan Raja Ming, maka ilmu pengetahuan dan kebudayaan Kerajaan Ming yang sudah pada taraf maju seharusnya terlihat pada Peninggalan Arsitektur Minahasa ditahun 1200-1400, tetapi kenyataannya peninggalan atau kebudayaan zaman Ming tidak ada satupun di Minahasa, jadi pendapat Tandean lemah untuk digunakan sebagai dasar dalam penulisan Sejarah Asal Usul Suku Minahasa. Sedangkan berdasarkan pendapat para ahli A.L.C Baekman dan M.B Van Der Jack, orang Minahasa berasal dari ras Mongolscheplooi yang sama dengan pertalian Jepang dan Mongol ialah memiki lipit Mongoloid dan kesamaan warna kulit, yaitu kuning langsat. Persamaan dengan Mongol dalam sistem kepercayaan dapat dilihat pada agama asli Minahasa Shamanisme sama seperti Mongol. 

Dan juga dipimpin oleh walian (semacam pendeta/pemimpin agama) yang langsung dimasuki oleh opo. Agama Shamanisme ini memang dipegang teguh secara turun temurun oleh suku Mongol dan terlihat juga kemiripan dengan agama asli suku Dayak di Kalimantan, dan Korea.

Berdasarkan pendapat para ahli diantaranya A.L.C Baekman dan M.B Van Der Jack yaitu berasal dari ras Mongolscheplooi yang sama dengan pertalian Jepang dan Mongol ialah memiki lipit Mongolia. Memang bangsa mongol terkenal dengan dengan gaya hidup berperang dengan menguasai 1/2 dunia saat dipimpin oleh Genghis Khan, dan bangsa Mongol menyebar tidak terkecuali pergi ke Manado. Persamaan dengan Mongol dalam sistem kepercayaan dapat dilihat pada agama asli Minahasa Shamanisme sama seperti Mongol. Dan juga dipimpin oleh Walian yang langsung dimasuki oleh opo. Agama Shamanisme ini memang dipegang teguh secara turun temurun oleh suku Mongol. Dapat dilihat juga di Kalimantan Dayak, dan Korea

Jadi orang Minahasa memang berasal dari keturunan ras Mongoloid, tetapi bukan orang Mongol. Ras ini juga terdapat pada suku Dayak, Nias dan Mentawai. Ras Mongoloid tersebut diperkirakan berasal dari Formosa Taiwan. Namun memang orang Minahasa sudah tidak murni dari Mongol saja, namun sudah campuran Spanyol, Portugis, dan Belanda yang diketahui keturunan Yahudi, namun lebih dipengaruhi oleh Kristen. Sebenarnya aslinya Suku Minahasa dari Mongol yang terkenal dengan kehebatan perang, dan Yahudi yang terkenal dengan kecerdasannya. Memang Belanda sebagi Yahudi yang masuk ke Indonesia hanya mendirikan 1 tempat ibadah di Indonesia.

Seperti kita tahu Manado dalam prosesnya oleh Indonesia dibilang bangsa asing karena sangat dimanja oleh Belanda dan Sekutu. Serta sangat berbeda dengan ciri orang Indonesia pada umumnya.

Nama Minahasa mengandung suatu kesepakatan mulia dari para leluhur melalui musyarawarah dengan ikrar bahwa segenap tou Minahasa dan keturunannya akan selalu seia sekata dalam semangat budaya Sitou Timou Tumou Tou. Dengan kata lain tou Minahasa akan tetap bersatu (maesa) dimanapun ia berada dengan dilandasi sifat maesa-esaan (saling bersatu, seia sekata), maleo-leosan (saling mengasihi dan menyayangi), magenang-genangan (saling mengingat), malinga-lingaan (saling mendengar), masawang-sawangan (saling menolong) dan matombo-tomboloan (saling menopang). Inilah landasan satu kesatuan tou Minahasa yang kesemuanya bersumber dari nilai-nilai tradisi budaya asli Minahasa (Richard Leirissa, Manusia Minahasa 1995)

Jadi walaupun orang Minahasa ada di mana saja pada akhirnya akan kembali dan bersatu, waktu itu akan terjadi pada akhir jaman, yang tidak seorangpun yang tahu. Seperti Opo Karema pernah kasih amanat “Keturunan kalian akan hidup terpisah oleh gunung dan hutan rimba. Namun, akan tetap ada kemauan untuk bersatu dan berjaya.

Pada tahun masehi kira-kira awal abad 6, orang Minahasa telah membangun Pemerintahan Kerajaan di Sulawesi Utara yang berkembang menjadi kerajaan besar. Kerajaan ini memiliki pengaruh yang luas ke luar Sulawesi hingga ke Maluku. Pada sekitar tahun 670, para pemimpin dari suku-suku yang berbeda, dengan bahasa-bahasa yang berbeda, bertemu di sebuah batu yang dikenal sebagai Watu Pinawetengan. Di sana mereka mendirikan sebuah komunitas negara merdeka, yang membentuk satu unit dan tetap bersatu untuk melawan setiap musuh dari luar jika mereka diserang. Bagian anak suku Minahasa yang mengembangkan pemerintahannya sehingga memiliki pengaruh luas adalah anak suku Tonsea pada abad 13, yang pengaruhnya sampai ke Bolaang Mongondow dan daerah lainnya. Kemudian keturunan campuran anak suku Pasan Ponosakan dan Tombulu membangun pemerintahan kerajaan yang terpisah dari ke empat suku lainnya di Minahasa.

2        Suku Bangsa
Suku Minahasa adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Sulawesi Utara, Indonesia. Suku Minahasa merupakan suku bangsa terbesar di provinsi Sulawesi Utara. Suku Minahasa terbagi atas beberapa subsuku:
Suku Minahasa terbagi atas sembilan subsuku yaitu:
1        Babontehu
2        Bantik
3        Pasan Ratahan (Tounpakewa)
4        Ponosakan
5        Tonsea
6        Toulour
7        Tonsawang/Toundanouw
8        Tontemboan
9        Tombulu

2.1 Minahasa Babontehu
 


 Minahasa Babontehu

Suku Babontehu adalah salah satu sub-suku Minahasa, yang terdapat di provinsi Sulawesi Utara. Suku Babontehu bermukim di daerah Kepulauan sebelah barat laut Minahasa.

Suku Babontehu ini pada masa dahulu berada di bawah satu kerajaan tersendiri bernama Kerajaan Manado, yang berpusat di pulau Manado tua. Mereka sejak dahulu adalah bangsa pelaut, dan terkenal sebagai pelaut yang ulung. Kelompok mereka, sebelum mereka bergabung dengan kelompok suku Minahasa.

Pada awalnya mereka tinggal dan bermukim di pulau Manado Tua, karena mereka bermigrasi ke pulau ini. Tapi sebelum kehadiran mereka di Pulau ini telah ada penduduk di pulau ini yang terlebih dahulu menghuni Pulau Manado Tua ini, yaitu suku-bangsa Mangindanou, yang terkenal sebagai Bajak Laut. Tapi setelah sekian lama entah karena sebab apa, orang-orang Mangindanou ini pindah dan bermigrasi ke daerah lain, diduga ke Filipina. Pada masa itu pulau ini dikenal dengan nama “Pulau Manadou”. Setelah Pulau Manado ini kosong, masuklah orang Babontehu dalam kelompok kecil, dengan jumlah sekitar 30-40 kepala keluarga.  Kehadiran suku Babontehu ini rupanya diterima oleh suku Bantik yang berada di Pogidon (Wenang) dan Minanga (Malalayang), dan mereka telah menjalin hubungan baik sejak dulu. Suku Babontehu ini pernah memiliki suatu kerajaan yang bernama Kerajaan Babontehu, yang dipimpin oleh seorang Kolano (Raja).


     Pada zaman itu, sekitar tahun 1570-1606, datanglah bangsa Portugis berlabuh ke pulau Manado Tua, tapi mereka tidak melakukan apa-apa, terlihat mereka hanya ingin bersahabat dengan penduduk pulau Manado Tua.. Di pulau Manado Tua ini, orang Babontehu melakukan barter hasil bumi dengan penduduk negeri Pogidon (Wenang) dan Minanga (Malalayang).


       Suku Babontehu ini sempat berperang dengan Kerajaan Bolaang Mongondow, tapi dalam pertempuran mereka mengalami kekalahan. yang membuat mereka terusir dari pulau Manado Tua, sehingga mereka pun pindah ke daerah baru dan membangun pemukiman baru di kepulauan Sangihe.


       Setelah sekian lama suku Babontehu akhirnya menggabungkan diri dengan kelompok suku Minahasa, dan diakui sebagai salah satu sub-suku Minahasa. Saat ini masyarakat suku Babontehu tersebar di beberapa daerah di provinsi Sulawesi Utara.

2.2 Suku Bantik (Tou Bantik)


Tari Mahamba
Suku Bantik, adalah salah satu sub-suku Minahasa yang terdapat di Sulawesi Utara. Mereka tersebar di sebelah barat daya kota Manado,

Yaitu di Malalayang, Kalasei dan sebelah utara Manado, yaitu di Buha, Bengkol, Talawaan Bantik, Bailang, Molas, Meras serta Tanamon di kecamatan Sinonsayang Minahasa Selatan dan juga terdapat di Ratahan dan wilayah Mongondouw.
            Suku Bantik, termasuk keturunan Toar dan Lumimuut, tapi mereka tidak memiliki Pakasa’an, karena menurut legenda, mereka terlambat datang dalam musyawarah di Watu Pinawetengan.
         Suku Bantik memiliki adat-istiadat, kebiasaan dan ciri-ciri muka dari kelompok sub-suku Minahasa. Mereka berbicara dalam bahasa Bantik, yang agak berbeda dengan bahasa Minahasa pada umumnya. Bahasa Bantik sendiri lebih mirip dengan bahasa-bahasa dari Sulawesi Tengah.
Tari Perang
            
         Salah satu budaya tari suku Bantik yang terkenal adalah Tari Mahamba, adalah suatu tarian yang indah yang diperagakan apabila ada acara-acara tertentu pada masyarakat suku Bantik. Selain itu mereka juga memiliki Tari Perang dan lain-lain.

          Masyarakat suku Bantik mayoritas adalah pemeluk agama Kristen, seperti suku-suku Minahasa lainnya yang pada umumnya memeluk agama Kristen. Agama Kristen diperkenalkan ke dalam kalangan orang Bantik oleh para misionaris Belanda, sejak awal kedatangan orang Belanda di wilayah ini.

            Menurut cerita bahwa suku Bantik ini pada awalnya berasal dari wilayah Sulawesi Tengah, yang bermigrasi pertamakali di wilayah Bolaang Mongondow. Kemudian mereka ikut dengan pasukan Bolaang Mongondow untuk memerangi suku-suku Minahasa. Tapi ketika pasukan Bolaang Mongondow dikalahkan oleh pasukan Minahasa di Maadon, Lilang (Kema), mereka tetap tinggal di sekitar teluk Manado, dan tidak mau kembali ke wilayah Bolaang Mongondow.
Karena mereka bekas pasukan Bolaang Mongondow, mereka diharuskan membayar upeti kepada Raja Boloaang Mongondow. Tapi hal itu membuat mereka diejek oleh orang-orang Minahasa, sebagai budak-budak Bolmong.

            Menurut legenda Tou Bantik, bahwa dulunya mereka berasal dari Sulawesi Utara, tapi mereka bermigrasi ke sebuah pulau yang bernama pulau Panimbulrang. Di sana mereka hidup pada beberapa kampung, hidup tentram dan memiliki penduduk yang besar. Di pulau Panimbulrang inilah mereka disebut “Orang Bantik”. Di sana mereka hidup lama disertai dengan perkembangan-perkembangan kebudayaannya. Letak pulau Panimblurang tersebut saat ini tidak diketahui dengan pasti. Menurut cerita orang tua-tua, lokasi pulau “Panimbulrang” berada di sebelah utara, antara kepulauan Talaud dan Philipina. Tapi karena terjadi suatu bencana alam, pulau Panimbulrang diterjang air bah, sehingga seluruh perkampungan mereka tenggelam dan mereka pun menyeberang kembali ke Sulawesi Utara.

            Saat ini suku Bantik, telah menjadi salah satu dari kelompok Minahasa. Walaupun dari segi bahasa dan adat-istiadat berbeda dengan bahasa dan adat-istiadat Minahasa, tapi mereka berasal dari satu keturunan, yaitu dari keturunan Toar dan Lumimuut, sehingga mereka bergabung dalam satu kesatuan Minahasa.


2.3 Suku Pasan Ratahan (Tounpakewa)
            Suku Pasan (Tounpakewa), adalah termasuk sub-suku Minahasa yang terdapat di Sulawesi Utara. Suku Pasan tersebar di kecamatan Pasan, di Towuntu Timur, kampung Towuntu, Liwutung, Tolambukan dan Watulinei. Populasi suku Pasan diperkirakan lebih dari 15.000 orang pada sensus tahun 1989.

          Tarian Kebesaran Suku Pasan

            Suku Pasan, telah lama hidup berdampingan dengan suku Ratahan di suatu wilayah, sehingga di antara kedua suku ini agak susah dibedakan, lagipula kedua suku ini menggunakan bahasa dan adat-istiadat yang sama. Suku Pasan dahulu bernama suku Tousuraya. Suku ini berasal dari Pakasa'an Touwuntu, yang terdiri dari 2 walak, yaitu Tousuraya (sekarang menjadi suku Pahan) dan Toulumalak (sekarang menjadi suku Ratahan).

            Menurut cerita sejarah Minahasa, pada masa lalu Raja Babontehu, menaklukkan daerah Teluk Tomini. Lalu sang Raja itu mengawini seorang Putri Raja dari teluk Tomini dan menetap di tempat itu. Setelah sekian lama keturunan mereka semakin banyak. Pada suatu saat sang Raja tersebut dikalahkan oleh Raja Loloda Bolaang Mongondow. Lalu sang Raja membawa membawa keturunan-keturunannya beserta pengikutnya ke daerah Minahasa (diperkirakan di Manado). Seluruh keturunan dan pengikutnya yang berasal dari Teluk Tomini banyak yang melakukan kawin-campur orang Minahasa. Setelah beberapa lama, mereka melanjutkan perjalanan menuju daerah yang lebih aman di sebelah Timur (Tenggara) Minahasa dan keturunan-keturunannya inilah yang disebut sebagai Suku Pasan.

            Menurut versi lain sejarah Minahasa, disebutkan kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Wuntu, menuju ke Bentenan. Mereka mendirikan pemukiman di Ratan. Mereka ini lah yang disebut suku Ratahan. Sedangkan yang menuju ke Towuntu (Liwutung), disebut suku Tou Pasan. Sekelompok orang Tou Pasan mengadakan tumani dan bermukim di Tawawu (Tababo), Belang dan Watuliney, membaur dengan penduduk dari Taranak Ponosakan, yaitu keluarga Butiti, Wumbunan dan Tubelan yang datang dari Wulur Mahatus (Pontak), dan mereka disebut sebagai suku Tou Ponosakan.

            Seperti suku Ratahan, masyarakat suku Pasan juga kebanyakan hidup pada bidang pertanian. Pada tanaman padi, jagung, cengkeh, kopra dan lain-lain. Berbagai bidang profesi juga mereka jalani, seperti pedagang, pegawai, guru dan sebagainya.


2.4 Suku Ponosakan

 


Suku Ponosakan


Suku Ponosakan, adalah salah satu sub-suku Minahasa yang terdapat di provinsi Sulawesi Utara. Suku Ponosakan mendiami kecamatan Belang dan kecamatan Ratatotok, tersebar di beberapa kampung, yaitu di kampung Belang, Basaan, Ratatotok dan Tumbak serta sebagian kampung Watuliney dan Tababo. Populasi suku Ponosakan ini diperkirakan lebih dari 5000 orang.
             

           Suku Ponosakan merupakan satu-satunya suku dari kelompok Minahasa, yang masyarakatnya banyak memeluk agama Islam. Pengaruh agama Islam ini mereka dapat dari orang-orang Mongondow. Karena orang Ponosakan pernah terlibat hubungan baik dengan orang-orang Mongondow di masa lalu.

Orang Ponosakan berbicara dalam bahasa Ponosakan. Bahasa Ponosakan adalah salah satu dialek bahasa Minahasa. Tetapi bahasa Ponosakan ini memiliki banyak kemiripan dengan bahasa Mongondow. Menurut orang Mongondow bahasa Ponosakan ini adalah salah satu dialek dari bahasa Mongondow. Walau demikian, walau bahasa orang Ponosakan mirip dengan bahasa Mongondow, tapi mereka tetap mengaku bahwa mereka adalah orang Minahasa.

Saat ini generasi muda orang Ponosakan, banyak yang sudah hampir tidak mengetahui lagi bahasa Ponosakan, karena para generasi muda Ponosakan banyak yang beralih menggunakan bahasa Manado Pasar (Melayu Manado). Dari 5000 orang populasi suku Ponosakan ini, diperkirakan yang berbicara dalam bahasa Ponosakan hanya sebesar 2000 orang saja. Hal ini membuat bahasa Ponosakan bisa terancam punah, akibat dominasi bahasa-bahasa lain yang lebih kuat pengaruhnya di daerah-daerah orang Ponosakan



 2.5 Suku Tonsea
  
        Suku Tonsea, adalah salah salah satu sub-suku Minahasa yang berada di provinsi Sulawesi Utara. Daerah pemukiman suku Tonsea ini berada di kabupaten Minahasa Utara meliputi daerah semenanjung Sulawesi, kota Bitung, Airmadidi, Kauditan, Kema, kota Bitung, Tatelu, Talawaan dan Likupang Timur. Populasi suku Tonsea diperkirakan lebih dari 90.000 orang pada sensus tahun 1989.

Suku Tonsea



Suku Tonsea berasal dari pakasa'an Tountewoh, yang merupakan anak suku Minahasa. Orang Tonsea berbicara menggunakan bahasa Tonsea. Bahasa Tonsea merupakan salah satu dialek bahasa Minahasa.


Bahasa Tonsea sendiri memiliki beberapa dialek, yaitu: 
  • dialek Maumbi
  • dialek Airmadidi
  • dialek Likupang 
  • dialek Kauditan 
  •  dialek Klabat 
  •  dialek Bitung

 

Waruga tempat bersejarah di Airmadidi

Dialek-dialek di atas, tidaklah terlalu berbeda jauh, karena setiap pemakai dialek yang berbeda wilayah bisa saling berkomunikasi dengan baik menggunakan dialeknya masing-masing, apabila bertemu.
Pada masa sekarang ini, bahasa Tonsea sendiri mengalami penurunan dalam jumlah penuturnya, akibat dominasi dari bahasa Melayu Manado yang cenderung semakin dipakai oleh golongan generasi muda suku Tonsea.

Pada abad 17, suku Tonsea dipimpin oleh seorang yang bernama Xaverius Dotulong, sebagai pemimpin dari suku Tonsea yang berkedudukan di Kema. Saat berkorespondensi dengan Gubernur Ternate Robertus Padtbrugge, Xaverius Dotulong menggunakan bahasa Melayu yang ternyata sudah banyak digunakan oleh pedagang-pedagang yang berdagang di wilayah kepulauan Maluku. Xaverius Dotulong adalah anak dari Runtukahu Lumanauw yang tinggal di Kema dan merintis pembangunan pertama kali di wilayah adat suku Tonsea.

Silsilah Dotulong:

Mayoritas suku Tonsea adalah pemeluk agama Kristen. Agama Kristen tumbuh dengan kuat dalam kehidupan masyarakat suku Tonsea, terlihat dari banyaknya bangunan gereja yang berdiri di setiap pemukiman masyarakat suku Tonsea. Mereka sering mengadakan kegiatan di gereja. Kegiatan gereja adalah sangat penting bagi kehidupan mereka.

Masyarakat suku Tonsea, pada umumnya berprofesi sebagai petani. Mereka menanam beberapa jenis sayuran, termasuk jagung, beberapa jenis buah-buahan. Selain itu mereka juga menanam tanaman keras seperti cengkeh. Pada bidang profesi lain, orang Tonsea berprofesi sebagai pedagang, guru, pegawai negeri dan di sektor-sektor swasta. Saat ini banyak orang Tonsea yang merantau ke daerah lain, seperti Manado, Makasar atau ke pulau-pulau lain, seperti Papua, Maluku, Sumatra, Jawa dan Kalimantan.  
     
2.6 Suku Toulour

                   Patung Sarapung, Toulour

            Suku Toulour disebut juga sebagai orang Tondano, adalah salah satu sub-suku Minahasa yang terdapat di provinsi Sulawesi Utara. Populasi suku Toulour ini diperkirakan lebih dari ... orang.

            Suku Toulour, mendiami daerah sekeliling danau Tondano sampai di pantai Timur Minahasa (Tondano Pante) yaitu daerah Tondano, Kombi, Eris, Lembean Timur, Kakas, Remboken. Pakasaan Toulour terbagi atas dua walak yaitu Tondano Toulimambot di bagian barat dan Tondano Touliang di bagian barat.

            Penduduk Minahasa sekitar kota Tondano, menyebut diri mereka sebagai "orang Toulour", atau "orang Tondano / orang Tou nDano”. Orang Toulour berbicara dalam bahasa Toulour, yang disebut juga sebagai bahasa Tondano.

            Asal-usul orang Tondano, menurut cerita, dahulu serombongan pendatang, orang-orang Tifore, yang datang dari pesisir Timur (Atep). Orang-orang Tifore ini melakukan kawin campur dengan orang Toumbulu, dan menetap di daerah bagian barat danau (yang sekarang disebut danau Tondano). Dari keturunan inilah yang menurunkan orang-orang Tondano. Mereka mendirikan pemukiman di sekitar danau Tondano.

            Istilah "Tondano" diduga berasal dari bahasa Tountemboan, yaitu "Touw un Dano", yang berarti "orang danau". Sedangkan istilah "Toulour" berasal dari bahasa Tonsea dan Tombulu, yaitu "Tou Lour", yang berarti "orang air".

            Daerah pemukiman suku Toulour ini berada di dua daerah utama, yaitu Touliang (sebelah timur sungai) dan Toulimambot (sebelah barat sungai). Pada zaman kolonial Belanda, daerah ini oleh Belanda dinamakan distric Toulour dengan kotanya adalah Tondano. Oleh karena itu penduduk di daerah ini menyebut diri mereka sebagai orang Toulour, tapi juga sebagai orang Tondano.

            Sebenarnya ada satu etnis lain yang menggunakan nama mirip, salah satu etnis Minahasa yang menamakan diri mereka sebagai orang Toundanouw. Yang menarik dari orang Toundanouw ini adalah, sebelum ada istilah Tondano di daerah Tondano, mereka telah menamakan diri mereka sebagai orang Toundanouw. Satu hal lain yang juga menarik adalah orang Toundanouw ini juga berasal dari keturunan orang Tifore. Mereka menetap di daerah Atep yang hijrah ke pedalaman.


            Menurut Dr. J.G.F. Riedel, dalam bukunya (De Minahasa in 1825), tertulis bahwa pendatang-pendatang dari Tifore menetap di pesisir Timur (Atep), merambah ke pedalaman dalam 2 kelompok, yaitu:
 
  •       Kelompok ke-1, menuju Utara, masuk ke wilayah orang Tonsea dan mendirikan pemukiman yang disebut Lumijang. Kelompok inilah yang menetap di sekitar danau, kemudian dinamakan Tou nDano, atau Tou Lour (dalam bahasa Tonsea/ Tombulu). Mereka lah yang menjadi orang Tondano atau orang Toulour.
  •          Kelompok ke-2, menuju ke Selatan dan membuat pemukiman Awouw, Topiriwan dan Watu. Mereka menyebut diri mereka sebagai orang Toundanouw. Dari keturunan mereka terbagi menjadi 2 kelompok kecil, yaitu, yang disebut Tou Watu atau Tombatu, dan satu lagi diduga adalah Tonsawang.

            Ada suatu versi yang sedikit berbeda tentang orang Toulour, menurut cerita beberapa Tetua Minahasa, dikatakan bahwa sejak kehadiran orang Minahasa di sekitar danau Tondano, mereka menamakan diri mereka sebagai orang Tondano. Kemudian mereka terbagi menjadi 3 walak, yaitu Kakas, Romboken dan Toulour. Dari sini lah, terlihat maka orang Toulour, selain menyebut diri mereka sebagai orang Toulour, mereka juga mengaku sebagai orang Tondano. Karena mereka adalah pecahan langsung salah satu dari 3 walak Tondano.

            Dalam budaya orang Toulour, mereka memiliki suatu tradisi beladiri yang tetap terpelihara, yaitu beladiri khas walak Tolour biasa dikenal dengan nama ilmu beladiri Sakalele soma'tanu rano wo reghes (silat sakti air dan angin). Sakalele ini memiliki 36 jurus, yang sangat hebat. Ilmu beladiri Sakalele memiliki jurus-jurus dicipta berdasar pergerakan  alam, air dan angin di danau Tondano.

            Orang Toulour, pada umumnya hidup sebagai petani. Beberapa orang bekerja sebagai nelayan penangkap ikan di danau Tondano. Sedangkan pada bidang profesi lain, mereka bekerja sebagai pedagang, guru, pegawai dan lain-lain.

2.7 Suku Toundanouw/Tonsawang

Suku Toundanouw, adalah suatu Pakasaan Minahasa atau semacam kelompok atau anak suku Miinahasa sejak dahulu menetap di daerah yang memiliki banyak danau, salah satu danau terbesar di daerah pemukiman orang Toundanouw ini adalah danau Bulilin, yang berada di kabupaten Minahasa Tenggara provinsi Sulawesi Utara.
Istilah orang Toundanouw ini mirip dengan salah satu etnis Minahasa lain, yang dikenal sebagai orang Tondano, tapi 2 kelompok ini berbeda, karena orang Tondano menetap di daerah sekitar danau Tondano, sedangkan orang Toundanouw hidup di sekitar danau Bulilin yang berada di kabupaten Minahasa Tenggara. Yang menarik dari orang Toundanouw ini adalah, sebelum ada istilah Tondano di daerah Tondano, mereka telah menamakan diri mereka sebagai orang Toundanouw. Selain itu ditinjau dari asal-usul nenek moyang, orang Toundanouw dan orang Tondano berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu berasal dari keturunan orang-orang dari Tifore (Tafure atau Tidore), yang pada awalnya menetap di daerah Atep yang hijrah ke pedalaman. Sehingga kedua etnis ini memiliki kebiasaan yang sama, yaitu hidup di sekitar danau.


Danau Bulilin

Pada masa lalu, ketika suku-suku di Minahasa belum bersatu, sering terjadi peperangan antar suku, bahkan sempat terjadi pengayauan (potong kepala) di antara mereka. Melihat peperangan antar walak (kelompok Taranak) terus berlangsung, sekitar tahun 670, beberapa Walian dan Tonaas menyadari akan pentingnya suatu musyawarah di dalam usaha menciptakan kembali akan persatuan dan kesatuan yang berlangsung di sekitar kaki Gunung Tonderukan. Di tempat itu, terdapat sebuah batu “Tumotowa” tempat pelaksanaan ritual Poso (J. G. F. Riedel, The Minahasa, 1862). Kendati berlangsung alot, namun musyawarah yang dipimpin oleh Tonaas Kapero yang berasal dari kelompok Pasiowan Telu bersama Muntu Untu dari golongan Makarua Siow sebagai panitera/notulis dan Mandey sebagai saksi, berhasil mencapai beberapa kesepakatan penting, di antaranya:
1. menerima penetapan pembagian pemukiman setiap kaum Taranak
· setiap kaum Taranak dapat mengembangkan ketentuan adat dan ritual yang tetap berlandaskan kepercayaan terhadap Empung Walian Wangko (Tuhan Yang Maha Agung) dan opo (leluhur).
·setiap kaum Taranak dapat mengembangkan bahasa sesuai kehendak masing-masing, namun semuanya tetap mengaku sebagai satu Kasuruan, yang tidak dapat dicerai-beraikan oleh siapapun.

Selanjutnya pembagian wilayah pemukiman diatur dan dibagi menjadi 7 Taranak, salah satunya adalah Kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Kamboyan, menuju ke dataran sekitar Danau Bulilin, tempat asal mereka semula dan mendiami pemukiman di Bukit Batu, Kali dan Abur. Kelompok dan keturunan mereka inilah yang disebut orang Toundanouw, yang berarti "orang yang tinggal di sekitar air".

Pakasa'an Toundanouw berasal dari Pakasa'an Tountewoh, yang terpecah menjadi 3 pakasa'an, yaitu Pakasa'an Tonsea, Pakasa'an Tondano dan Pakasa'an Toundanouw. 

Sedangkan Pakasa'an Toundanouw terdiri dari 2 walak, yaitu walak Tombatu dan walak Tonsawang, yang sekarang menjadi etnis tersendiri di wilayah kabupaten Minahasa Tenggara.
Walak Tombatu dan walak Tonsawang, hidup berdampingan di satu wilayah di kabupaten Minahasa Tenggara, dan banyak terjadi perkawinan silang di antara mereka, sehingga saat ini mereka lebih populer dengan sebutan sebagai orang Tonsawang, tapi mereka juga tetap mengakui diri mereka sebagai satu kesatuan sebagai orang Toundanouw.

2.8 Suku Tountemboan

Suku Tountemboan, adalah salah satu sub-suku dari suku Minahasa, yang mendiami kabupaten Minahasa bagian selatan di provinsi Sulawesi Utara. Populasi suku Tountemboan diperkirakan lebih dari 150.000 orang.

tari perang "Cakalele"
suku Tountemboan


Suku Tountemboan, berkedudukan di Minahasa bagian Selatan yang mendiami daerah Langowan, Tompaso, Kawangkoan, Sonder, Tareran, Tumpaan, Amurang dan daerah di sepanjang kuala Ranoyapo yaitu di daerah Motoling, Kumelembuai, Ranoyapo, Tompaso Baru, Modoinding, Tenga dan Sinonsayang.

Suku ini berasal dari pakasa'an Tompakewa yang terdiri dari 6 walak:
·         Tompaso
·         Langowan
·         Tombasian
·         Rumoong
·         Tongkimbut atas (Kawangkoan)
·         Tongkimbut bawah (Sonder).

Orang Tountemboan berbicara menggunakan bahasa Tountemboan. Bahasa Tountemboan merupakan salah satu dialek dari bahasa Minahasa.

Bahasa Tountemboan memiliki 2 dialek, yaitu:
·         dialek Matana’i (Sonder dan sekitarnya)
·         dialek Makela’i meliputi kecamatan Langowan, Tompaso’ dan sebagian Tompaso’ Baru.

            Mitos leluhur orang Tountemboan, bahwa mereka juga berasal dari keturunan Lumimu-ut, tapi dengan versi yang sedikit berbeda. Menurut bentuk mitos ini, pada awalnya hanya ada lautan dan batu besar yang disapu oleh gelombang, dan setelah itu seekor bangau berkeringat, dari keringatnya menghasilkan seorang dewa perempuan yang disebut Lumimu-ut (Loeang-Sermata).

            Dinasehati oleh bangau itu akan keberadaan “negeri asali”, kemudian dia mengambil dua genggam tanah yang ia sebarkan di atas batu, dan maka ia menciptakan dunia, dimana ia menanam benih semua tanaman dan pohon, agar mirip dengan “negeri asali”. 

Setelah menciptakan bumi, Lumimu-ut naik ke gunung, lalu angin barat bertiup dan membuatnya hamil. Seiring waktu ia melahirkan seorang anak laki-laki, dan saat ia telah tumbuh menjadi dewasa, sang ibu menyuruhnya mencari seorang istri, namun sejauh ia mencari, ia tidak menemukan satupun. Maka Lumimu-ut memberinya tongkat yang panjangnya sama dengan tinggi badannya, memintanya mencari seorang perempuan yang harus lebih pendek dari tinggi tongkat ini, dan bila ia menemukan perempuan demikian, maka ia ditakdirkan untuk menikahinya.

Ibu dan anak ini kemudian berpisah, satu pergi ke kanan dan satu ke kiri, dan mereka keliling dunia, hingga akhirnya bertemu kembali, tanpa saling kenal, dan saat sang anak mencocokkan tinggi badan ibunya dengan tongkat, tinggi badan ibunya ternyata lebih pendek dari tongkat, karena tanpa sepengetahuannya, tongkat itu bertambah panjang. Karena itu, maka ia pun menikahi sang ibu, dan mereka melahirkan banyak anak, yang keturunannya menjadi leluhur orang-orang Tountemboan..

2.9 Suku Tombulu

Suku Tombulu (Toumbulu), adalah salah satu suku tua di Tanah Malesung (Proto Minahasa/ Minahasa Tua), yang terdapat di provinsi Sulawesi Utara. Suku Tombulu, terkonsentrasi di Tomohon yang mendiami daerah kota Tomohon, kecamatan Tombariri, kecamatan Pineleng, kecamatan Tombulu, kecamatan Wori, Likupang Barat dan ibukota Sulawesi Utara kota Manado. Populasi suku Tombulu diperkirakan lebih dari 60.000 orang pada sensus 1981.

 
Suku Tombulu, memiliki 8 walak (klan), yaitu:
Ø  Tomohon (Tou Muung)
Ø  Sarongsong
Ø  Tombariri
Ø  Kakaskasen
Ø  Ares
Ø  Maumbi (Kalawat Atas)
Ø  Kalawat Wawa (Klabat Bawah) di Paniki
Ø  Likupang.


Saat ini terdapat suatu Organisasi Adat Pakasaan Tombulu yang aktif melestarikan dan mengembangkan budaya suku Tombulu, yang dipimpin oleh mantan Wakil Walikota Tomohon Syennie-Smits Watoelangkow. Organisasi masyarakat ini telah membangun suatu amfiteater dengan pemandangan indah ke gunung Lokon yang masih aktif dan gunung Empung. Di tempat-tempat ini lah dahulu suku Tombulu menganggap pemukiman dewa-dewa mereka. Di sekitar amfiteater terdapat banyak mata air yang konon kabarnya bisa menyembuhkan penyakit dan membuat lebih pintar.

Di kompleks Organisasi Pakasaan Tombulu yang bernama Rano Walanda, terdapat banyak Waruga. Waruga adalah batu yang berlubang, yang pada masa dahulu digunakan sebagai tempat meletakkan mayat orang di dalam dan menutupinya dengan batu berukir besar. Lokasi amfiteater Rano Walanda terdapat di desa Woloan I di kota Tomohon.

       Asal-usul suku Tombulu, menurut cerita rakyat (legenda/ mitos) seperti yang ditulis Pdt.M.Ph. Wilken dan Graflaand, yang tersimpan secara turun temurun dalam masyarakat suku Tombulu, adalah nenek moyang pertama di Minahasa adalah Opo Toar dan Lumimuut. Menurut ceritanya mereka hanyut terbawa arus dari arah utara, lalu terdampar di pantai barat Minahasa, di batu karang yang dinamai Batu Kapal yang terletak di daerah Sapa (kecamatan Tenga kabupaten Minahasa Selatan sekarang). Mereka hanyut terbawa arus air bah. Dalam tulisan Dr. Riedels Zano Simezuk Wangko, air bah merendam seluruh dataran sampai ke puncak gunung Lokon, Gunung Mahwu, dan gunung Soputan.


        Opo Toar dan Lumimuut, berdiam di sekitar gunung Wulur Mahatus. Kemudian pindah ke sekitar Niutakan dekat Tompasu Baru. Di Tempat baru ini Opo Toar kawin dengan Lumimuut. Setelah sekian lama ternyata jumlah mereka bertambah banyak dan memenuhi daerah itu, sehingga mereka mulai menyebar ke seluruh Malesun (Minahasa). Awalnya terdapat 25 kepala keluarga yang menyebar, salah satunya antara lain keluarga Pinontoan dan istrinya Ambilingan dengan 6 orang anaknya. Mereka datang ke dataran gunung Lokon. Keturunan dari keluarga inilah yang diyakini menurunkan "suku Tombulu".


Suatu tulisan di Facebook, yang diposting oleh Kennedy Polakitan, menceritakan penyebaran suku Tombulu berdasarkan sejarah Minahasa. Pada awal penyebaran suku Tombulu sekitar abad 10, suku Tombulu di Wanua Meijesu diperintah oleh Lumoindong putra dari Walian Pukul, ditimpa wabah penyakit yang menewaskan banyak penduduk. Oleh karena itu suku Tombulu terpencar dan keluar mencari pemukiman baru. Tempat-tempat yang dituju sebagai pemukiman baru dan terbentuknya beberapa walak pada suku Tombulu, adalah:

1    Tonaas Tumbelwoto, memimpin sebagian orang Tombulu pergi tumani ke Wanua Tula’u hingga terbentuklah walak Saronsong,
2  Sebagian rakyat berpindah ke Kinilow Tu’a. Tonaas Ka’awoan meninggalkan Kinilow Tu’a memimpin sebagian orang Tombulu pergi kearah barat ke suatu tempat yang terdapat rumput yang dinamai Wariri, sebagian orang yang menetap di sana disebut Touwariri, lalu sebutannya menjadi orang Tombariri.
3    Selanjutnya dari sana sebagian rakyat yang dipimpin oleh Walian Lokon Mangundap, Kalele, Apor, Karundeng, Kapalaan, dan Posumah,  mendirikan negeri baru yang dinamai Katinggolan yang merupakan cikal bakal dari terbentuknya Wanua Woloan.
4    Tonaas Mokoagow juga meninggalkan Kinilow Tu’a dan pergi tumani ke Wanua Mu’ung dan Kamasi membentuk Tou Mu’ung (Tomohon).
5   Tonaas Ticonumu dan Tuerah pergi tumani ke Wanua Kakaskasen dan membentukWalak Kakaskasen,
6     Tonaas Lolong lasut dan Ruru pergi tumani ke Wanua Wenang dan Ares membentuk Walak Ares (di kota Manado sekarang).
7        Dari Kinilow Tu’a beberapa taranak pergi tumani ke Wanua kali dari sana Tonaas Alow pergi melintasi sungai wenang utara, lalu tumani ke Wanua Kalawat atas dan membentuk Kalawat atas yang kemudian berubah menjadi Kalawat Maumbi.
8        Dari Kalawat Atas keluar Tonaas Kondoy, Wangko Saumanan pergi ke barat tumani ke Wanua Kalawat Kalewosan yang kemudian menjadi Wanua ure, kini disebut Komo Luar. Kalawat Kalewosan ini kemudian menjadi Kalawat Wawa, ibu negeri Wanua ure.
9        Tonaas Kalengkongan beserta sebagian rakyat meninggalkan Kalawat Atas dan Kalawat Wawa, pergi tumani ke Wanua Likupang. Menimbulkan Walak Likupang.
Jadi suku Tombulu telah pecah menjadi beberapa walak. Tetapi pada abad 15, Tonaas Dotulong, Tidajoh Koagow dari Pakasaan Tonsea telah merampas Wilayah Dimembe, suatu wilayah yang sangat luas sekali.


Cakalele

Orang Tombulu dalam keseharian di dalam lingkungan sesama orang Tombulu, menggunakan bahasa Tombulu. Bahasa Tombulu ini merupakan salah satu dialek bahasa Minahasa. Bahasa Tombulu lumayan terkenal, karena beberapa lagu daerah yang populer kebanyakan berasal dari bahasa Tombulu, seperti lagu "O Ina Ni Keke".


        Dalam hal kepercayaan, seperti sub-suku Minahasa lain pada umumnya memeluk agama Kristen, begitu pula suku Tombulu ini adalah pemeluk agama Kristen. Agama Kristen telah lama berkembang dalam lingkungan masyarakat suku Tombulu, Diperkirakan mereka memeluk agama Kristen sejak kehadiran bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda ke tanah Minahasa ini.

Masyarakat suku Tombulu pada dasarnya hidup sebagai petani. Mereka menanam padi di sawah dan ladang. Selain padi mereka juga menanam beberapa jenis sayur-sayuran dan buah-buahan. Juga beberapa tanaman keras seperti cengkeh dan kopra.

3        Kepercayaan dan Agama

Sistem Religi dalam masyarakat Minahasa dibagi menjadi dua, yakni kepercayaan asli masyarakat (agama sakral) dan agama-agama wahyu.

1.       Kepercayaan Asli Masyarakat Minahasa

Unsur-unsur religi pribumi masyarakat Minahasa masih nampak dalam beberapa upacara adat yang dilakukan orang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sekitar lingkaran hidup individu, seperti masa hamil, kelahiran, perkawinan, kematian, maupun dalam bentuk roh-roh leluhur dan kekuatan-kekuatan gaib dalam hidup sehari-hari, yang baik maupun yang jahat. Orang Minahasa menyebut dewa dengan Empung atau Opo. Dewa yang tertinggi disebut Opo Wailan Wangko (Tuhan Allah). Ia dianggap sebagai pencipta seluruh alam dan dunia serta segala isinya. Sesudah dewa tertinggi, ada wujud di bawahnya yakni, Karema. Rupanya Karema merupakan salah satu dari roh leluhur. Karema sendiri berarti ‘mitra, teman (ka-) yang dihubungkan dengan makan sirih-pinang (lema)’

Opo ada yang baik dan ada yang jahat. Opo yang baik akan senantiasa menolong manusia yang dianggap sebagai cucu mereka, apabila mentaati petunjuk-petunjuk yang diberikan mereka. Pelanggaran terhadap petunjuk itu dapat mengakibatkan yang bersangkutan mengalami bencana, kesulitan hidup atau hilangnya kekuatan sakti akibat murka dari Opo-opo tersebut. Ada juga Opo-opo yang memberikan kekuatan sakti untuk hal-hal yang tidak baik seperti untuk mencuri dan berjudi Opo masih dibagi lagi ke dalam beberapa jenis, yakni: nenek moyang (dotu), Opo dari setiap kerabat, makhluk-makhluk penghuni gunung, sungai, mata air, hutan, tanah, pantai/laut, mata angin, dan Opo hujan.

Selain itu, orang Minahasa juga percaya akan makhluk-makhluk halus seperti roh-roh leluhur, hantu-hantu, dan kekuatan-kekuatan gaib lainnya. Bentuk makhluk halus itu bermacam-macam, yakni: mukur (arwah dari orang yang telah meninggal tetapi masih berada di sekitar keluarganya yang masih hidup), puntianak (arwah wanita yang mati dalam keadaan hamil atau melahirkan dan suka mengganggu orang yang masih hidup), setang mengiung-ngiung (sama dengan puntianak tetapi khusus bagi kaum pria saja), pok-pok atausuanggi (sebangsa drakula yang suka menghisap darah manusia yang masih hidup), panunggu (setan yang menempati tempat-tempat tertentu), jin (sama dengan panunggu tetapi selalu berkeliaran), dan lalu/lulu (sebangsa setan yang menghuni hutan)

Masyarakat suku Minahasa juga memiliki kepercayaan bahwa ada bagian-bagian tubuh, benda-benda, binatang dan tumbuh-tumbuhan serta ucapan manusia (sumpah dan kutuk) yang memiliki kekuatan sakti. Konsep kejiwaan bagi orang Minahasa tidak dibedakan dengan konsep roh. Unsur kejiwaan dalam hidup manusia ialah ingatan/gegenang,  perasaan/pemendam,  dan kekuatan/keketer. Tokoh tradisional yang melakukan dan memimpin upacara-upacara keagamaan pribumi disebut walian atau tona’as.Mereka berfungsi sebagai media untuk mendapatkan kekuatan sakti dari opo-opo dan juga mengobati orang sakit dengan cara tradisional

2.      Agama-Agama Wahyu dalam Masyarakat Minahasa

Umumnya orang Minahasa dikenal sebagai suatu komunitas Kristen yang juga masih menerima beberapa unsur atau konsep tertentu dari religi pribumi. Namun dalam kehidupan sehari-hari, unsur-unsur dari religi pribumi ini berpadu dengan komponen-komponen Kristen dan membentuk sebuah sinkretisme. Hal ini terlihat dalam upacara-upacara siklus hidup, pengobatan, dan perilaku keagamaan sehari-hari. Dalam proses sinkretisme ini, unsur-unsur religi pribumi mengalami penyesuaian maupun transformasi makna sehingga sejalan dengan agama Kristen. Misalnya, Opo Wailan Wangko sebagai konsep dewa tertinggi telah dilihat sebagai Tuhan Allah. Namun, di samping itu tentu terjadi juga beberapa ketidaksesuaian  persepsi emic dan etic atas sinkretisme tersebut.

Agama-agama yang umum dipeluk oleh masyarakat Minahasa ialah Protestan, Katolik, Islam, dan Budha. Sekarang ini Protestanisme merupakan mayoritas (85%) di Minahasa. Penganut Islam sendiri terhitung 8% dari populasi penduduk.


 4.      Adat Istiadat

A.    Kelahiran
Jika ada bayi yang baru lahir hanya diadakan syukuran.

B.     Perkawinan

Proses Pernikahan adat yang dilakukan saat ini adalah mandi adat "Lumelek" (menginjak batu) dan "Bacoho" karena dilakukan di kamar mandi di rumah calon pengantin. Pagi hari memandikan pengantin, merias wajah, memakai busana pengantin, memakai mahkota dan topi pengantin untuk upacara "maso minta" (toki pintu). Siang hari kedua pengantin pergi ke catatan sipil atau Departemen Agama dan melaksanakan pengesahan/pemberkatan nikah (di Gereja), yang kemudian dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Pada acara in biasanya dilakukan upacara perkawinan ada, diikuti dengan acara melempar bunga tangan dan acara bebas tari-tarian dengan iringan musik tradisional, seperti tarian Maengket, Katrili, Polineis, diriringi Musik Bambu dan Musik Kolintang.

Bacoho (Mandi Adat)
Setelah mandi biasa membersihkan seluruh badan dengan sabun mandi lalu mencuci rambut dengan bahan pencuci rambut yang banyak dijual di toko, seperti shampoo dan hair tonic. Mencuci rambut "bacoho" dapat delakukan dengan dua cara, yakni cara tradisional ataupun hanya sekedar simbolisasi.

Tradisi : Bahan-bahan ramuan yang digunakan adalah parutan kulit lemong nipis atau lemong bacoho (citrus limonellus), fungsinya sebagai pewangi; air lemong popontolen (citrus lemetta), fungsinya sebagai pembersih lemak kulit kepala; daun pondang (pandan) yagn ditumbuk halus, fungsinya sebagai pewangi, bunga manduru (melati hutan) atau bunga rosi (mawar) atau bunga melati yang dihancurkan dengan tangan, dan berfungsi sebagai pewangi; minyak buah kemiri untuk melemaskan rambut dicampur sedikit perasan air buah kelapa yang diparut halus. Seluruh bahan ramuan harus berjumlah sembilan jenis tanaman, untuk membasuh rambut. Sesudah itu dicuci lagi dengan air bersih lalu rambut dikeringkan.

Simbolisasi : Semua bahan-bahan ramuan tersebut dimasukkan ke dalam sehelai kain berbentuk kantong, lalu dicelup ke dalam air hangat, lalu kantong tersebut diremas dan airnya ditampung dengan tangan, kemudian digosokkan kerambut calon pengantin sekadar simbolisasi.

Lumele’ (Mandi Adat): Pengantin disiram dengan air yang telah diberi bunga-bungaan warna putih, berjumlah sembilan jenis bunga yang berbau wangi, dengan mamakai gayung sebanyak sembilan kali di siram dari batas leher ke bawah. Secara simbolis dapat dilakukan sekedar membasuh muka oleh pengantin itu sendiri, kemudian mengeringkannya dengan handuk yang bersih dan belum pernah digunakan sebelumnya.
Upacara Perkawinan : Upacara perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah satu rumah pengantin pria ataupun wanita. Di Langowan-Tontemboan, upacara dilakukan dirumah pihak pengantin pria, sedangkan di Tomohon-Tombulu di rumah pihak pengantin wanita.
Orang Minahasa di kota-kota besar seperti kota Manado, mempunyai kebiasaan yang sama dengan orang Minahasa di luar Minahasa yang disebut Kawanua. Pola hidup masyarakat di kota-kota besar ikut membentuk pelaksanaan upacara adat perkawinan Minahasa, menyatukan seluruh proses upacara adat perkawinan yang dilaksanakan hanya dalam satu hari (Toki Pintu, Buka/Putus Suara, Antar harta, Prosesi Upacara Adat di Pelaminan).


C.    Kematian

1.  Sesaat setelah seseorang meninggal warga sekitar (jaga,kolom/RT) gotong royong membantu keluarga bangun bangsal , menyiapkan konsumsi bagi para pekerja yang membangun bangsal dan bagi para pelayat.

2.   Malamnya ibadah dan " Masamper " / memberikan penghiburan kepada keluarga yang berduka dengan menyanyikan lagu-lagu rohani atau lagu tempo dulu ; menemani keluarga jaga mayat / jenazah.

3.    Upacara pemakaman didahului dengan ibadah. Susunan Ibadah Pemakaman biasanya meliputi :

Sambutan/ kata-kata penghiburan
            Pemerintah desa
Dari gereja
Sesuai permintaan keluarga
Kalau keluarga mempunyai hubungan dengan organisasi lain, maka organisasi itu akan diberikan kesempatan untuk menyampaikan kata-kata penghiburan dan diakonia
·     Pembacaan Riwayat hidup (dibacakan oleh anak tertua atau cucu tertua ).
·   Sebelum Ibadah selesai/ditutup. Bersama-sama dengan masyarakat dan jemaat mengantar jenazah keliang lahat
·   Apabila yang meninggal itu adalah  tokoh jemaat (mantan pelsus) jenazah dibawa kegereja dan jenazah disemayamkan di gereja dilanjutkan dengan ibadah
·    Apabila dia tokoh masyarakat (pernah menjadi kuntua, kepala jaga / perangkat desa) di bawa di kantor hokum tua / balai desa untuk mengenangkan jasa-jasa dari yang meninggal semasa dia hidup dan dilaksanakan pelepasan
·  Sekembalinya dari lahan pekuburan bersama-sama dengan keluarga kemudian keluarga telah menyiapkan konsumsi ringan untuk sekedar melepas lelah dari ladang pekuburan.


5.      Bahasa

Dalam hidup harian, suku Minahasa biasa menggunakan bahasa Indonesia yang dipadukan dengan logat Melayu Manado atau yang disebut bahasa Melayu Manado. Bahasa ini adalah bahasa umum yang dipergunakan dalam komunikasi antar orang-orang dari sub-sub etnik Minahasa maupun dengan penduduk dari suku-suku bangsa lainnya. Di daerah perkotaan, orang memakai Melayu Manado sebagai bahasa ibu, menggantikan bahasa pribumi Minahasa. Pengaruh Melayu Manado ini juga sudah mulai terlihat di desa-desa. Generasi terakhir sudah kurang mengetahui bahasa pribumi mereka. Proses indigenisasi Melayu Manado ini berlangsung dengan pesat dan membentuk suatu ciri identitas etnik dan bagian dari sistem budaya Minahasa.

Mengenai bahasa pribumi, di Minahasa terdapat 8 bahasa sesuai dengan jumlah sub etnik suku Minahasa, yakni bahsa Tombulu, Tonsea, Tondano (Toulour), Tontemboan, Tonsawang, Pasan (Ratahan atau Bentenan), Ponosakan, dan Bantik. Ketiga yang terakhir ini dekat dengan bahasa Sangir-Talaud, sedangkan lima bahasa yang besar lainnya berasal dari satu rumpun, yaitu Proto-Minahasa Bahasa Tontemboan kini mempunyai pengguna terbanyak, diikuti dengan bahasa Tombulu, Tondano di posisi ketiga dan kemudian Tonsea. Dahulu bahasa Tombulu dipakai dalam nyanyian, puisi, doa dan peribahasa di seluruh Minahasa, tetapi sekarang ini jumlah pemakainya sudah berkurang dan kenyataan membuktikan bahwa banyak orang Tombulu tidak lagi menggunakannya. Sebaliknya, bahasa Tonsea dan Tontemboan kini sedang naik pamor dan dipakai secara aktif dan terbuka di muka umum.

6.      Mata Pencaharian

Beberapa mata pencaharian masyarakat Minahasa yang dibahas penulis dalam tulisan ini, yakni:

a.        Berburu/meramu

Pada zaman dahulu jenis mata pencaharian ini merupakan salah satu mata pencaharian pokok, tetapi kini tidak lagi ditemukan dalam masyarakat Minahasa. Sudah sejak lama masyarakat Minahasa mampu menggarap tanah dan mengusahakannya bagi kehidupan mereka. Dahulu di beberapa tempat masyarakat mempunyai mata pencaharian berburu babi hutan, babi rusa (langkow), sapi hutan/anoa, dan rusa. Demikian pula penduduk peramu pada zaman dahulu ada yang meramu damar, rotan, dan sebagainya. Kini, berburu hanya merupakan pekerjaan sambilan atau hanya untuk mencari kesenangan saja.



b.        Pertanian

Sektor ini merupakan mata pencaharian pokok masyarakat Minahasa dalam arti bahwa pertanian menempati urutan teratas atau merupakan mayoritas sumber ekonomi masyarakat. Sudah sejak masa sebelum Perang Dunia II berkembang perkebunan rakyat dengan tanaman-tanaman industri, terutama kelapa, cengkeh, kopi, dan pala. Sekarang ini komoditi pertanian lain, yaitu coklat, vanili, jahe putih, dan jambu mente mulai digiatkan secara intensif dengan metode dan teknologi modern. Tanah pertanian – sawah atau ladang – di Minahasa dimiliki baik oleh perorangan/milik sendiri (pasini) yang diperoleh berdasarkan warisan atau pembelian maupun secara bersama (kalekeran) yang digarap secara mapalus.

Sistem bercocok tanam di ladang (uma atau kobong kering) biasanya bersifat menetap dan ditanami jagung sebagai tanaman pokok dan diselingi dengan padi ladang, sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, umbi-umbian dan rempah-rempah.

c.       Perikanan

Perikanan merupakan salah satu sektor mata pencaharian yang berkembang baik dalam masyarakat Minahasa. Hal ini didukung oleh program-program pemerintah yang mendirikan Balai-balai Benih Ikan (BBI) di beberapa daerah di Minahasa. Selain itu, juga ada peralihan dari teknologi tradisional dalam bidang perikanan ke dalam teknologi modern yang membuat usaha perikanan semakin produktif, misalnya dengan ‘motorisasi’ perahu penangkap ikan. Sama seperti di daerah-daerah lainnya, penduduk Minahasa yang bermukim di pesisir-pesisir pantai mempunyai mata pencaharian pokok menangkap ikan. Usaha pemerintah dalam dalam memajukan sektor perikanan laut terlihat di daerah Aertelaga, dengan mendirikan lembaga usaha penangkapan dan pengolahan ikan cakalang.Berbagai jenis ikan yang juga ditangkap antara lain, tongkol, roa (julung-julung), sardin (japuh), kembung, ikan layang (mamalugis), ikan batu, dan kura-kura (tuturuga). Hasil perikanan baik darat maupun laut ini kemudian dibawa ke pasar-pasar di ibukota kecamatan, kabupaten, atau ke Manado yang kemudian dibawa juga ke daerah-daerah lain di luar Minahasa.

d.      Peternakan

Peternakan tidak terlalu memegang peranan penting sebagai sumber ekonomi masyarakat Minahasa. Ternak yang dipelihara dalam masyarakat Minahasa berupa sapi, babi, ayam, bebek, kuda, anjing, angsa, tetapi hanya dalam jumlah kecil saja. Namun terdapat juga pasar ternak (belante) di beberapa daerah. Ternak biasanya berfungsi sebagai pembantu tenaga kerja dalam bidang pertanian, transportasi, penjaga rumah, dan sering juga dipakai sebagai mas kawin.

e.       Kerajinan

Pada umumnya hasil kerajinan masyarakat Minahasa dikerjakan oleh wanita. Kerajinan itu berupa tikar, topi, dan alat-alat rumah tangga yang terbuat dari sejenis daun tumbuh-tumbuhan, rotan, silar, pandan, sejenis bambu (lou/dames), dan bambu kecil yang disebutbulu tui. Terdapat juga pembuatan alat-alat rumah tangga dari tanah liat berupa tembikar, jambangan, pot-pot bunga, piring, dan mangkok. Hasil-hasil kerajinan tersebut diperdagangkan penduduk sampai ke pelosok-pelosok Minahasa.


7.      Seni Dan Budaya

Kesenian

Berikut adalah beberapa bentuk kesenian yang terdapat dalam masyarakat Minahasa.

Ø        Tarian perang yang disebut tari cakalele (mahasasau), merupakan perpaduan tari Spanyol yang telah mengalami perubahan di Ternate, dan kemudian masuk ke Minahasa. Berupa gerakan-gerakan perang; menantang, mengejar dan menghindari musuh dengan gerakan ke kiri serta ke belakang atau dengan lompatan menyerang musuh. Tarian ini diperagakan dalam berbagai kesempatan, seperti penyambutan tamu, pembangunan, penarikan kayu, dan pesta-pesta adat. Selain itu, ada juga tarian lain yang diiringi dengan nyanyian, seperti tarian padi (makanberu), tarian naik rumah baru (merambak), dan tarian muda-mudi (lalayapan)

Ø   Kesusasteraan suci masyarakat Minahasa dikenal dengan istilah masambo (meminta doa). Masambo memiliki perbedaan versi di tiap sub-suku Minahasa. Isi dari masambo tidak lain adalah doa permohonan kepada yang berkuasa agar tetap memelihara, menjaga, memberkati, memberikan restu, meminta rejeki, dan sebagainya yang biasa dijumpai pada bidang pertanian, perkawinan, naik rumah baru, kelahiran, kematian, dan sebagainya. Selain itu isinya juga mengandung nasehat-nasehat atau anjuran-anjuran yang harus diperhatikan sebagai pedoman hidup. Syair-syair masambo biasanya dinyanyikan menurut irama tertentu.

Ø        Ada juga berbagai ungkapan, pepatah,simbol, dan perumpamaan yang dimiliki oleh masyarakat suku Minahasa, terutama oleh orang-orang tua yang bermukim di desa-desa. Misalnya, Sa lumampang, lumampang yo makauner; arti harafiahnya: “kalau berjalan, berjalanlah ke dalam (tengah) atau bila masuk jangan setengah-setengah, melainkan masuklah ke dalam”. Pengertiannya, bila melaksanakan suatu pekerjaan, janganlah setengah-setengah melainkan kerjakanlah dengan sungguh-sungguh. Selain itu masih berbagai pepatah dan ungkapan lain. Simbol yang ada dalam masyarakat Minahasa, misalnya hiasan-hiasan berupa kain merah di kepala melambangkan kesatriaan dan keberanian, sayap bulu burung manguni (burung hantu) yang diikatkan di kepala menyimbolkan kebesaran dan keagungan, dan parang dan perisai sebagai lambang siap bertempur, siap berjuang membela tanah air.

Ø        Dalam bentuk pakaian atau tenunan, ada dua jenis tenunan. Yang pertama dan paling kasar adalah kadu/wau, yaitu kain panjang yang dapat dibuat rok wanita atau kemeja. Kain tersebut juga dipakai sebagai layar perahu pribumi, tirai serambi rumah, ataupun sebagai karung untuk mengangkut beras atau padi. Yang kedua ialah kain tenunan yang terbuat dari kapas dari pohon yang tumbuh di Minahasa. Kapas ini cukup baik dan halus, tetapi hasil tenunannya cenderung kasar. Biasa digunakan sebagai sarung dan alas pada tempat duduk orang besar atau ulama. Para wanita Minahasa juga membuat tolo, tutup kepala berbentuk kerucut dengan berbagai ukuran, terbuat dari daun silar dengan berbagai warna yang mencolok. Sayangnya, kini berbagai kesenian dalam bentuk tenunan ini sudah hilang dari kehidupan masyarakat Minahasa yang mulai terhanyut oleh arus kehidupan modern.

Ø  Tari Katliri
Pada abad ke-16, Portugis dan Spanyol yang sedang menjajah Indonesia mewariskan sebuah tarian berirama country yang dinamakan Tari Katliri. Tarian ini mengisahkan tentang kehidupan para remaja suku Minahasa, yang digambarkan dengan gerakan yang dinamis dan lincah serta wajah yang terlihat bahagia. Tarian ini tetap dilestarikan suku Minahasa walaupun kostum dari penari Katliri ini memperlihatkan ciri khas budaya Eropa.

Ø  Tari Maengket
Selain tari Katliri, suku Minahasa masih mempunyai tari Maengket. Tarian yang juga mengisahkan kehidupan remaja suku Minahasa ini dahulu dilakukan ketika panen hasil pertanian. Tarian ini terdiri dari 3 babak yaitu Maowey Kamberu, Marambak, dan Lalayan.

Ø  Alat Musik Bambu
Alat musik bambu ini terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Setelah berkembang menjadi suling bambu, alat musik bambu sekarang sudah berkembang menjadi Musik Bambu Seng Klarinet (MBSK). Dahulu, alat musik ini terbuat dari Bulu Tui (bambu kecil) dan sekarang telah menggunakan bahan steinless (vernekel).

Ø  Alat Musik Kolintang
Alat musik pengiring tari Katliri ini terbuat dari kayu yang cara dimainkannya dengan dipukul. Alat musik ini dapat mengeluarkan nada rendah maupun tinggi dan bunyinya cukup panjang. Dan karena itu, suara Tong (nada rendah), Ting (nada tinggi), dan Tang (nada tengah) menginspirasi suku Minahasa memberi nama Kolintang untuk alat musik tersebut.

Kebudayaan di Minahasa

1.      Pengucapan syukur. Pengucapan syukur merupakan tradisi masyarakat Minahasa yang mengucap syukur atas segala berkat yang telah Tuhan berikan. Biasanya pengucapan syukur dilaksanakan setelah panen dan dikaitkan dengan acara keagamaan untuk mensyukuri berkat Tuhan yang dirasakan terlebih panen yang dinikmati.

2.      Budaya mapalus. Mapalus merupakan sebuah tradisi budaya suku Minahasa dimana dalam mengerjakan segala sesuatu dilakukan secara bersama-sama atau gotong royong. Budaya mapalus mengandung arti yang sangat mendasar. Mapalus juga dikenal sebagai local Spirit and local wisdom masyarakat di Minahasa






Sumber



Tidak ada komentar:

Posting Komentar