1
Asal
Usul Suku Minahasa
Daerah Minahasa di Sulawesi Utara diperkirakan pertama kali
telah dihuni oleh manusia sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Para peneliti
memperkirakan suku bangsa Minahasa berasal dari Formosa Taiwan, keturunan suku
bangsa Austronesia dari Formosa Taiwan, yang melakukan perjalanan panjang
melalui Filipina dan terus ke Sulawesi. Banyak terdapat kemiripan bahasa dari
bahasa Minahasa dengan bahasa-bahasa di Formosa Taiwan
Menurut pendapat Tandean, seorang ahli bahasa dan huruf
Tionghoa Kuno, 1997, melakukan penelitian pada Watu Pinawetengan. Melalui
tulisan “Min Nan Tou” yang terdapat di batu itu, ia mengungkapkan, Tou Minahasa
diperkirakan merupakan keturunan Raja Ming yang berasal dari tanah Mongolia,
yang datang berimigrasi ke Minahasa. Arti dari Min Nan Tou adalah “orang
turunan Raja Ming". Tapi pendapat tersebut dianggap lemah menurut David DS
Lumoindong, karena kalau Minahasa memang berasal dari keturunan Raja Ming, maka
ilmu pengetahuan dan kebudayaan Kerajaan Ming yang sudah pada taraf maju
seharusnya terlihat pada Peninggalan Arsitektur Minahasa ditahun 1200-1400,
tetapi kenyataannya peninggalan atau kebudayaan zaman Ming tidak ada satupun di
Minahasa, jadi pendapat Tandean lemah untuk digunakan sebagai dasar dalam penulisan Sejarah Asal Usul Suku Minahasa. Sedangkan berdasarkan pendapat para ahli A.L.C
Baekman dan M.B Van Der Jack, orang Minahasa berasal dari ras Mongolscheplooi
yang sama dengan pertalian Jepang dan Mongol ialah memiki lipit Mongoloid dan
kesamaan warna kulit, yaitu kuning langsat. Persamaan dengan Mongol dalam
sistem kepercayaan dapat dilihat pada agama asli Minahasa Shamanisme sama
seperti Mongol.
Dan juga dipimpin oleh walian (semacam pendeta/pemimpin
agama) yang langsung dimasuki oleh opo. Agama Shamanisme ini memang dipegang
teguh secara turun temurun oleh suku Mongol dan terlihat juga kemiripan dengan
agama asli suku Dayak di Kalimantan, dan Korea.
Berdasarkan pendapat para ahli diantaranya A.L.C Baekman dan
M.B Van Der Jack yaitu berasal dari ras Mongolscheplooi yang sama dengan
pertalian Jepang dan Mongol ialah memiki lipit Mongolia. Memang bangsa mongol
terkenal dengan dengan gaya hidup berperang dengan menguasai 1/2 dunia saat
dipimpin oleh Genghis Khan, dan bangsa Mongol menyebar tidak terkecuali pergi
ke Manado. Persamaan dengan Mongol dalam sistem kepercayaan dapat dilihat pada
agama asli Minahasa Shamanisme sama seperti Mongol. Dan juga dipimpin oleh
Walian yang langsung dimasuki oleh opo. Agama Shamanisme ini memang dipegang
teguh secara turun temurun oleh suku Mongol. Dapat dilihat juga di Kalimantan
Dayak, dan Korea
Jadi orang Minahasa memang berasal dari keturunan ras
Mongoloid, tetapi bukan orang Mongol. Ras ini juga terdapat pada suku Dayak,
Nias dan Mentawai. Ras Mongoloid tersebut diperkirakan berasal dari Formosa
Taiwan. Namun memang orang Minahasa sudah tidak murni dari Mongol saja, namun
sudah campuran Spanyol, Portugis, dan Belanda yang diketahui keturunan Yahudi,
namun lebih dipengaruhi oleh Kristen. Sebenarnya aslinya Suku Minahasa dari
Mongol yang terkenal dengan kehebatan perang, dan Yahudi yang terkenal dengan
kecerdasannya. Memang Belanda sebagi Yahudi yang masuk ke Indonesia hanya
mendirikan 1 tempat ibadah di Indonesia.
Seperti kita tahu Manado dalam prosesnya oleh Indonesia
dibilang bangsa asing karena sangat dimanja oleh Belanda dan Sekutu. Serta
sangat berbeda dengan ciri orang Indonesia pada umumnya.
Nama Minahasa mengandung suatu kesepakatan mulia dari para
leluhur melalui musyarawarah dengan ikrar bahwa segenap tou Minahasa dan
keturunannya akan selalu seia sekata dalam semangat budaya Sitou Timou Tumou
Tou. Dengan kata lain tou Minahasa akan tetap bersatu (maesa) dimanapun ia
berada dengan dilandasi sifat maesa-esaan (saling bersatu, seia sekata),
maleo-leosan (saling mengasihi dan menyayangi), magenang-genangan (saling
mengingat), malinga-lingaan (saling mendengar), masawang-sawangan (saling
menolong) dan matombo-tomboloan (saling menopang). Inilah landasan satu
kesatuan tou Minahasa yang kesemuanya bersumber dari nilai-nilai tradisi budaya
asli Minahasa (Richard Leirissa, Manusia Minahasa 1995)
Jadi walaupun orang Minahasa ada di mana saja pada akhirnya
akan kembali dan bersatu, waktu itu akan terjadi pada akhir jaman, yang tidak
seorangpun yang tahu. Seperti Opo Karema pernah kasih amanat “Keturunan kalian
akan hidup terpisah oleh gunung dan hutan rimba. Namun, akan tetap ada kemauan
untuk bersatu dan berjaya.
Pada tahun masehi kira-kira awal abad 6, orang Minahasa telah
membangun Pemerintahan Kerajaan di Sulawesi Utara yang berkembang menjadi
kerajaan besar. Kerajaan ini memiliki pengaruh yang luas ke luar Sulawesi
hingga ke Maluku. Pada sekitar tahun 670, para pemimpin dari suku-suku yang
berbeda, dengan bahasa-bahasa yang berbeda, bertemu di sebuah batu yang dikenal
sebagai Watu Pinawetengan. Di sana mereka mendirikan sebuah komunitas negara
merdeka, yang membentuk satu unit dan tetap bersatu untuk melawan setiap musuh
dari luar jika mereka diserang. Bagian anak suku Minahasa yang mengembangkan
pemerintahannya sehingga memiliki pengaruh luas adalah anak suku Tonsea pada
abad 13, yang pengaruhnya sampai ke Bolaang Mongondow dan daerah lainnya.
Kemudian keturunan campuran anak suku Pasan Ponosakan dan Tombulu membangun
pemerintahan kerajaan yang terpisah dari ke empat suku lainnya di Minahasa.
2
Suku Bangsa
Suku
Minahasa adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Sulawesi Utara,
Indonesia. Suku Minahasa merupakan suku bangsa terbesar di provinsi Sulawesi
Utara. Suku Minahasa terbagi atas beberapa subsuku:
Suku Minahasa terbagi atas sembilan subsuku yaitu:
1
Babontehu
2
Bantik
3
Pasan Ratahan
(Tounpakewa)
4
Ponosakan
5
Tonsea
6
Toulour
7
Tonsawang/Toundanouw
8
Tontemboan
9
Tombulu
2.1 Minahasa
Babontehu
Minahasa
Babontehu
Suku Babontehu ini pada masa dahulu berada di bawah satu
kerajaan tersendiri bernama Kerajaan Manado, yang berpusat di pulau Manado tua.
Mereka sejak dahulu adalah bangsa pelaut, dan terkenal sebagai pelaut yang
ulung. Kelompok mereka, sebelum mereka bergabung dengan kelompok suku
Minahasa.
Pada awalnya mereka tinggal dan bermukim di pulau Manado Tua,
karena mereka bermigrasi ke pulau ini. Tapi sebelum kehadiran mereka di Pulau
ini telah ada penduduk di pulau ini yang terlebih dahulu menghuni Pulau Manado
Tua ini, yaitu suku-bangsa Mangindanou, yang terkenal sebagai Bajak Laut. Tapi
setelah sekian lama entah karena sebab apa, orang-orang Mangindanou ini pindah
dan bermigrasi ke daerah lain, diduga ke Filipina. Pada masa itu pulau ini
dikenal dengan nama “Pulau Manadou”. Setelah Pulau Manado ini kosong, masuklah
orang Babontehu dalam kelompok kecil, dengan jumlah sekitar 30-40 kepala
keluarga. Kehadiran suku Babontehu ini rupanya diterima oleh suku Bantik
yang berada di Pogidon (Wenang) dan Minanga (Malalayang), dan mereka telah
menjalin hubungan baik sejak dulu. Suku Babontehu ini pernah memiliki suatu
kerajaan yang bernama Kerajaan Babontehu, yang dipimpin oleh seorang
Kolano (Raja).
Pada zaman itu, sekitar tahun 1570-1606, datanglah bangsa Portugis berlabuh ke pulau Manado Tua, tapi mereka tidak melakukan apa-apa, terlihat mereka hanya ingin bersahabat dengan penduduk pulau Manado Tua.. Di pulau Manado Tua ini, orang Babontehu melakukan barter hasil bumi dengan penduduk negeri Pogidon (Wenang) dan Minanga (Malalayang).
Suku Babontehu ini sempat berperang dengan Kerajaan Bolaang Mongondow, tapi dalam pertempuran mereka mengalami kekalahan. yang membuat mereka terusir dari pulau Manado Tua, sehingga mereka pun pindah ke daerah baru dan membangun pemukiman baru di kepulauan Sangihe.
Setelah sekian lama suku Babontehu akhirnya menggabungkan diri dengan kelompok suku Minahasa, dan diakui sebagai salah satu sub-suku Minahasa. Saat ini masyarakat suku Babontehu tersebar di beberapa daerah di provinsi Sulawesi Utara.
2.2
Suku Bantik (Tou Bantik)
Tari Mahamba |
Suku
Bantik, adalah salah satu sub-suku
Minahasa yang terdapat di Sulawesi Utara. Mereka tersebar di sebelah barat daya
kota Manado,
Yaitu di Malalayang, Kalasei dan sebelah utara Manado, yaitu di
Buha, Bengkol, Talawaan Bantik, Bailang, Molas, Meras serta Tanamon di
kecamatan Sinonsayang Minahasa Selatan dan juga terdapat di Ratahan dan wilayah
Mongondouw.
Suku
Bantik, termasuk keturunan Toar dan Lumimuut, tapi mereka tidak memiliki
Pakasa’an, karena menurut legenda, mereka terlambat datang dalam musyawarah di
Watu Pinawetengan.
Suku
Bantik memiliki adat-istiadat, kebiasaan dan ciri-ciri muka dari kelompok
sub-suku Minahasa. Mereka berbicara dalam bahasa Bantik, yang agak berbeda
dengan bahasa Minahasa pada umumnya. Bahasa Bantik sendiri lebih mirip dengan
bahasa-bahasa dari Sulawesi Tengah.
Tari
Perang
|
Salah satu budaya tari suku Bantik yang terkenal adalah Tari Mahamba, adalah suatu tarian yang indah yang diperagakan apabila ada acara-acara tertentu pada masyarakat suku Bantik. Selain itu mereka juga memiliki Tari Perang dan lain-lain.
Masyarakat suku Bantik mayoritas adalah pemeluk agama Kristen, seperti suku-suku Minahasa lainnya yang pada umumnya memeluk agama Kristen. Agama Kristen diperkenalkan ke dalam kalangan orang Bantik oleh para misionaris Belanda, sejak awal kedatangan orang Belanda di wilayah ini.
Menurut cerita bahwa suku Bantik ini pada awalnya berasal dari wilayah Sulawesi Tengah, yang bermigrasi pertamakali di wilayah Bolaang Mongondow. Kemudian mereka ikut dengan pasukan Bolaang Mongondow untuk memerangi suku-suku Minahasa. Tapi ketika pasukan Bolaang Mongondow dikalahkan oleh pasukan Minahasa di Maadon, Lilang (Kema), mereka tetap tinggal di sekitar teluk Manado, dan tidak mau kembali ke wilayah Bolaang Mongondow.
Karena mereka bekas pasukan Bolaang Mongondow, mereka diharuskan membayar upeti kepada Raja Boloaang Mongondow. Tapi hal itu membuat mereka diejek oleh orang-orang Minahasa, sebagai budak-budak Bolmong.
Menurut legenda Tou Bantik, bahwa dulunya mereka berasal dari Sulawesi Utara, tapi mereka bermigrasi ke sebuah pulau yang bernama pulau Panimbulrang. Di sana mereka hidup pada beberapa kampung, hidup tentram dan memiliki penduduk yang besar. Di pulau Panimbulrang inilah mereka disebut “Orang Bantik”. Di sana mereka hidup lama disertai dengan perkembangan-perkembangan kebudayaannya. Letak pulau Panimblurang tersebut saat ini tidak diketahui dengan pasti. Menurut cerita orang tua-tua, lokasi pulau “Panimbulrang” berada di sebelah utara, antara kepulauan Talaud dan Philipina. Tapi karena terjadi suatu bencana alam, pulau Panimbulrang diterjang air bah, sehingga seluruh perkampungan mereka tenggelam dan mereka pun menyeberang kembali ke Sulawesi Utara.
Saat ini suku Bantik, telah menjadi salah satu dari kelompok Minahasa. Walaupun dari segi bahasa dan adat-istiadat berbeda dengan bahasa dan adat-istiadat Minahasa, tapi mereka berasal dari satu keturunan, yaitu dari keturunan Toar dan Lumimuut, sehingga mereka bergabung dalam satu kesatuan Minahasa.
2.3 Suku Pasan Ratahan
(Tounpakewa)
Suku
Pasan (Tounpakewa), adalah termasuk sub-suku Minahasa yang terdapat di
Sulawesi Utara. Suku Pasan tersebar di kecamatan Pasan, di Towuntu
Timur, kampung Towuntu, Liwutung, Tolambukan dan Watulinei. Populasi suku Pasan
diperkirakan lebih dari 15.000 orang pada sensus tahun 1989.
![]() |
|
Tarian Kebesaran Suku Pasan |
Suku
Pasan, telah lama hidup berdampingan dengan suku Ratahan di suatu wilayah,
sehingga di antara kedua suku ini agak susah dibedakan, lagipula kedua suku ini
menggunakan bahasa dan adat-istiadat yang sama. Suku Pasan dahulu bernama
suku Tousuraya. Suku ini berasal dari Pakasa'an Touwuntu, yang terdiri dari 2
walak, yaitu Tousuraya (sekarang menjadi suku Pahan) dan Toulumalak (sekarang
menjadi suku Ratahan).
Menurut cerita sejarah Minahasa, pada masa lalu Raja Babontehu, menaklukkan daerah Teluk Tomini. Lalu sang Raja itu mengawini seorang Putri Raja dari teluk Tomini dan menetap di tempat itu. Setelah sekian lama keturunan mereka semakin banyak. Pada suatu saat sang Raja tersebut dikalahkan oleh Raja Loloda Bolaang Mongondow. Lalu sang Raja membawa membawa keturunan-keturunannya beserta pengikutnya ke daerah Minahasa (diperkirakan di Manado). Seluruh keturunan dan pengikutnya yang berasal dari Teluk Tomini banyak yang melakukan kawin-campur orang Minahasa. Setelah beberapa lama, mereka melanjutkan perjalanan menuju daerah yang lebih aman di sebelah Timur (Tenggara) Minahasa dan keturunan-keturunannya inilah yang disebut sebagai Suku Pasan.
Menurut cerita sejarah Minahasa, pada masa lalu Raja Babontehu, menaklukkan daerah Teluk Tomini. Lalu sang Raja itu mengawini seorang Putri Raja dari teluk Tomini dan menetap di tempat itu. Setelah sekian lama keturunan mereka semakin banyak. Pada suatu saat sang Raja tersebut dikalahkan oleh Raja Loloda Bolaang Mongondow. Lalu sang Raja membawa membawa keturunan-keturunannya beserta pengikutnya ke daerah Minahasa (diperkirakan di Manado). Seluruh keturunan dan pengikutnya yang berasal dari Teluk Tomini banyak yang melakukan kawin-campur orang Minahasa. Setelah beberapa lama, mereka melanjutkan perjalanan menuju daerah yang lebih aman di sebelah Timur (Tenggara) Minahasa dan keturunan-keturunannya inilah yang disebut sebagai Suku Pasan.
Menurut versi lain sejarah Minahasa, disebutkan kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Wuntu, menuju ke Bentenan. Mereka mendirikan pemukiman di Ratan. Mereka ini lah yang disebut suku Ratahan. Sedangkan yang menuju ke Towuntu (Liwutung), disebut suku Tou Pasan. Sekelompok orang Tou Pasan mengadakan tumani dan bermukim di Tawawu (Tababo), Belang dan Watuliney, membaur dengan penduduk dari Taranak Ponosakan, yaitu keluarga Butiti, Wumbunan dan Tubelan yang datang dari Wulur Mahatus (Pontak), dan mereka disebut sebagai suku Tou Ponosakan.
Seperti suku Ratahan, masyarakat suku Pasan juga kebanyakan hidup pada bidang pertanian. Pada tanaman padi, jagung, cengkeh, kopra dan lain-lain. Berbagai bidang profesi juga mereka jalani, seperti pedagang, pegawai, guru dan sebagainya.
2.4 Suku Ponosakan
Suku Ponosakan
Suku Ponosakan, adalah salah satu sub-suku Minahasa yang terdapat di provinsi Sulawesi Utara. Suku Ponosakan mendiami kecamatan Belang dan kecamatan Ratatotok, tersebar di beberapa kampung, yaitu di kampung Belang, Basaan, Ratatotok dan Tumbak serta sebagian kampung Watuliney dan Tababo. Populasi suku Ponosakan ini diperkirakan lebih dari 5000 orang.
Suku Ponosakan merupakan satu-satunya suku dari kelompok Minahasa, yang masyarakatnya banyak memeluk agama Islam. Pengaruh agama Islam ini mereka dapat dari orang-orang Mongondow. Karena orang Ponosakan pernah terlibat hubungan baik dengan orang-orang Mongondow di masa lalu.
Orang
Ponosakan berbicara dalam bahasa Ponosakan. Bahasa Ponosakan adalah salah satu
dialek bahasa Minahasa. Tetapi bahasa Ponosakan ini memiliki banyak kemiripan
dengan bahasa Mongondow. Menurut orang Mongondow bahasa Ponosakan ini adalah
salah satu dialek dari bahasa Mongondow. Walau demikian, walau bahasa orang
Ponosakan mirip dengan bahasa Mongondow, tapi mereka tetap mengaku bahwa mereka
adalah orang Minahasa.
Saat
ini generasi muda orang Ponosakan, banyak yang sudah hampir tidak mengetahui
lagi bahasa Ponosakan, karena para generasi muda Ponosakan banyak yang beralih
menggunakan bahasa Manado Pasar (Melayu Manado). Dari 5000 orang populasi suku
Ponosakan ini, diperkirakan yang berbicara dalam bahasa Ponosakan hanya sebesar
2000 orang saja. Hal ini membuat bahasa Ponosakan bisa terancam punah, akibat
dominasi bahasa-bahasa lain yang lebih kuat pengaruhnya di daerah-daerah orang
Ponosakan.
2.5 Suku Tonsea
Suku Tonsea, adalah salah salah satu sub-suku Minahasa yang berada di provinsi Sulawesi Utara. Daerah pemukiman suku Tonsea ini berada di kabupaten Minahasa Utara meliputi daerah semenanjung Sulawesi, kota Bitung, Airmadidi, Kauditan, Kema, kota Bitung, Tatelu, Talawaan dan Likupang Timur. Populasi suku Tonsea diperkirakan lebih dari 90.000 orang pada sensus tahun 1989.
2.5 Suku Tonsea
Suku Tonsea, adalah salah salah satu sub-suku Minahasa yang berada di provinsi Sulawesi Utara. Daerah pemukiman suku Tonsea ini berada di kabupaten Minahasa Utara meliputi daerah semenanjung Sulawesi, kota Bitung, Airmadidi, Kauditan, Kema, kota Bitung, Tatelu, Talawaan dan Likupang Timur. Populasi suku Tonsea diperkirakan lebih dari 90.000 orang pada sensus tahun 1989.
![]()
Suku Tonsea
|
Suku
Tonsea berasal dari pakasa'an Tountewoh, yang merupakan anak suku
Minahasa. Orang Tonsea berbicara menggunakan bahasa Tonsea. Bahasa Tonsea
merupakan salah satu dialek bahasa Minahasa.
Bahasa Tonsea sendiri memiliki
beberapa dialek, yaitu:
- dialek Maumbi
- dialek Airmadidi
- dialek Likupang
- dialek Kauditan
- dialek Klabat
- dialek Bitung
Waruga tempat bersejarah di Airmadidi
|
Dialek-dialek
di atas, tidaklah terlalu berbeda jauh, karena setiap pemakai dialek yang
berbeda wilayah bisa saling berkomunikasi dengan baik menggunakan dialeknya
masing-masing, apabila bertemu.
Pada masa sekarang ini, bahasa
Tonsea sendiri mengalami penurunan dalam jumlah penuturnya, akibat dominasi
dari bahasa Melayu Manado yang cenderung semakin dipakai oleh golongan generasi
muda suku Tonsea.
Pada
abad 17, suku Tonsea dipimpin oleh seorang yang bernama Xaverius Dotulong,
sebagai pemimpin dari suku Tonsea yang berkedudukan di Kema. Saat
berkorespondensi dengan Gubernur Ternate Robertus Padtbrugge, Xaverius Dotulong
menggunakan bahasa Melayu yang ternyata sudah banyak digunakan oleh
pedagang-pedagang yang berdagang di wilayah kepulauan Maluku. Xaverius Dotulong
adalah anak dari Runtukahu Lumanauw yang tinggal di Kema dan merintis
pembangunan pertama kali di wilayah adat suku Tonsea.
Mayoritas suku Tonsea adalah pemeluk agama Kristen. Agama Kristen
tumbuh dengan kuat dalam kehidupan masyarakat suku Tonsea, terlihat dari
banyaknya bangunan gereja yang berdiri di setiap pemukiman masyarakat suku
Tonsea. Mereka sering mengadakan kegiatan di gereja. Kegiatan gereja adalah
sangat penting bagi kehidupan mereka.
Masyarakat suku Tonsea, pada umumnya berprofesi sebagai
petani. Mereka menanam beberapa jenis sayuran, termasuk jagung, beberapa jenis
buah-buahan. Selain itu mereka juga menanam tanaman keras seperti cengkeh. Pada
bidang profesi lain, orang Tonsea berprofesi sebagai pedagang, guru, pegawai
negeri dan di sektor-sektor swasta. Saat ini banyak orang Tonsea yang merantau
ke daerah lain, seperti Manado, Makasar atau ke pulau-pulau lain, seperti
Papua, Maluku, Sumatra, Jawa dan Kalimantan.
2.6 Suku Toulour
Patung Sarapung, Toulour |
Suku Toulour disebut juga sebagai orang Tondano, adalah salah satu sub-suku Minahasa yang terdapat
di provinsi Sulawesi Utara. Populasi suku Toulour ini diperkirakan lebih dari
... orang.
Suku Toulour, mendiami daerah sekeliling danau Tondano sampai di pantai Timur Minahasa (Tondano Pante) yaitu daerah Tondano, Kombi, Eris, Lembean Timur, Kakas, Remboken. Pakasaan Toulour terbagi atas dua walak yaitu Tondano Toulimambot di bagian barat dan Tondano Touliang di bagian barat.
Penduduk Minahasa sekitar kota Tondano, menyebut diri mereka sebagai "orang Toulour", atau "orang Tondano / orang Tou nDano”. Orang Toulour berbicara dalam bahasa Toulour, yang disebut juga sebagai bahasa Tondano.
Asal-usul orang Tondano, menurut cerita, dahulu serombongan pendatang, orang-orang Tifore, yang datang dari pesisir Timur (Atep). Orang-orang Tifore ini melakukan kawin campur dengan orang Toumbulu, dan menetap di daerah bagian barat danau (yang sekarang disebut danau Tondano). Dari keturunan inilah yang menurunkan orang-orang Tondano. Mereka mendirikan pemukiman di sekitar danau Tondano.
Istilah "Tondano" diduga berasal dari bahasa Tountemboan, yaitu "Touw un Dano", yang berarti "orang danau". Sedangkan istilah "Toulour" berasal dari bahasa Tonsea dan Tombulu, yaitu "Tou Lour", yang berarti "orang air".
Daerah pemukiman suku Toulour ini berada di dua daerah utama, yaitu Touliang (sebelah timur sungai) dan Toulimambot (sebelah barat sungai). Pada zaman kolonial Belanda, daerah ini oleh Belanda dinamakan distric Toulour dengan kotanya adalah Tondano. Oleh karena itu penduduk di daerah ini menyebut diri mereka sebagai orang Toulour, tapi juga sebagai orang Tondano.
Sebenarnya ada satu etnis lain yang menggunakan nama mirip, salah satu etnis Minahasa yang menamakan diri mereka sebagai orang Toundanouw. Yang menarik dari orang Toundanouw ini adalah, sebelum ada istilah Tondano di daerah Tondano, mereka telah menamakan diri mereka sebagai orang Toundanouw. Satu hal lain yang juga menarik adalah orang Toundanouw ini juga berasal dari keturunan orang Tifore. Mereka menetap di daerah Atep yang hijrah ke pedalaman.
Menurut Dr. J.G.F. Riedel, dalam bukunya (De Minahasa in 1825), tertulis bahwa pendatang-pendatang dari Tifore menetap di pesisir Timur (Atep), merambah ke pedalaman dalam 2 kelompok, yaitu:
- Kelompok ke-1, menuju Utara, masuk ke wilayah orang Tonsea dan mendirikan pemukiman yang disebut Lumijang. Kelompok inilah yang menetap di sekitar danau, kemudian dinamakan Tou nDano, atau Tou Lour (dalam bahasa Tonsea/ Tombulu). Mereka lah yang menjadi orang Tondano atau orang Toulour.
- Kelompok ke-2, menuju ke Selatan dan membuat pemukiman Awouw, Topiriwan dan Watu. Mereka menyebut diri mereka sebagai orang Toundanouw. Dari keturunan mereka terbagi menjadi 2 kelompok kecil, yaitu, yang disebut Tou Watu atau Tombatu, dan satu lagi diduga adalah Tonsawang.
Ada
suatu versi yang sedikit berbeda tentang orang Toulour, menurut cerita beberapa
Tetua Minahasa, dikatakan bahwa sejak kehadiran orang Minahasa di sekitar danau
Tondano, mereka menamakan diri mereka sebagai orang Tondano. Kemudian mereka
terbagi menjadi 3 walak, yaitu Kakas, Romboken dan Toulour. Dari sini lah,
terlihat maka orang Toulour, selain menyebut diri mereka sebagai orang Toulour,
mereka juga mengaku sebagai orang Tondano. Karena mereka adalah pecahan
langsung salah satu dari 3 walak Tondano.
Dalam budaya orang Toulour, mereka memiliki suatu tradisi beladiri yang tetap terpelihara, yaitu beladiri khas walak Tolour biasa dikenal dengan nama ilmu beladiri Sakalele soma'tanu rano wo reghes (silat sakti air dan angin). Sakalele ini memiliki 36 jurus, yang sangat hebat. Ilmu beladiri Sakalele memiliki jurus-jurus dicipta berdasar pergerakan alam, air dan angin di danau Tondano.
Orang Toulour, pada umumnya hidup sebagai petani. Beberapa orang bekerja sebagai nelayan penangkap ikan di danau Tondano. Sedangkan pada bidang profesi lain, mereka bekerja sebagai pedagang, guru, pegawai dan lain-lain.
Dalam budaya orang Toulour, mereka memiliki suatu tradisi beladiri yang tetap terpelihara, yaitu beladiri khas walak Tolour biasa dikenal dengan nama ilmu beladiri Sakalele soma'tanu rano wo reghes (silat sakti air dan angin). Sakalele ini memiliki 36 jurus, yang sangat hebat. Ilmu beladiri Sakalele memiliki jurus-jurus dicipta berdasar pergerakan alam, air dan angin di danau Tondano.
Orang Toulour, pada umumnya hidup sebagai petani. Beberapa orang bekerja sebagai nelayan penangkap ikan di danau Tondano. Sedangkan pada bidang profesi lain, mereka bekerja sebagai pedagang, guru, pegawai dan lain-lain.
2.7
Suku Toundanouw/Tonsawang
Suku Toundanouw,
adalah suatu Pakasaan Minahasa atau semacam kelompok atau anak suku Miinahasa
sejak dahulu menetap di daerah yang memiliki banyak danau, salah satu danau
terbesar di daerah pemukiman orang Toundanouw ini adalah danau Bulilin, yang
berada di kabupaten Minahasa Tenggara provinsi Sulawesi Utara.
Istilah
orang Toundanouw ini mirip dengan salah satu etnis Minahasa lain, yang dikenal
sebagai orang Tondano, tapi 2 kelompok ini berbeda, karena orang Tondano
menetap di daerah sekitar danau Tondano, sedangkan orang Toundanouw hidup di
sekitar danau Bulilin yang berada di kabupaten Minahasa Tenggara. Yang menarik
dari orang Toundanouw ini adalah, sebelum ada istilah Tondano di daerah
Tondano, mereka telah menamakan diri mereka sebagai orang Toundanouw. Selain
itu ditinjau dari asal-usul nenek moyang, orang Toundanouw dan orang Tondano
berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu berasal dari keturunan orang-orang
dari Tifore (Tafure atau Tidore), yang pada awalnya menetap di daerah Atep yang
hijrah ke pedalaman. Sehingga kedua etnis ini memiliki kebiasaan yang sama,
yaitu hidup di sekitar danau.
Danau Bulilin
|
Pada masa lalu, ketika suku-suku di Minahasa belum bersatu,
sering terjadi peperangan antar suku, bahkan sempat terjadi pengayauan (potong
kepala) di antara mereka. Melihat peperangan antar walak (kelompok Taranak)
terus berlangsung, sekitar tahun 670, beberapa Walian dan Tonaas menyadari akan
pentingnya suatu musyawarah di dalam usaha menciptakan kembali akan persatuan
dan kesatuan yang berlangsung di sekitar kaki Gunung Tonderukan. Di tempat itu,
terdapat sebuah batu “Tumotowa” tempat pelaksanaan ritual Poso (J. G. F.
Riedel, The Minahasa, 1862). Kendati berlangsung alot, namun musyawarah yang
dipimpin oleh Tonaas Kapero yang berasal dari kelompok Pasiowan Telu bersama
Muntu Untu dari golongan Makarua Siow sebagai panitera/notulis dan Mandey
sebagai saksi, berhasil mencapai beberapa kesepakatan penting, di antaranya:
1. menerima penetapan pembagian
pemukiman setiap kaum Taranak
· setiap kaum Taranak dapat
mengembangkan ketentuan adat dan ritual yang tetap berlandaskan kepercayaan
terhadap Empung Walian Wangko (Tuhan Yang Maha Agung) dan opo (leluhur).
·setiap kaum Taranak dapat
mengembangkan bahasa sesuai kehendak masing-masing, namun semuanya tetap
mengaku sebagai satu Kasuruan, yang tidak dapat dicerai-beraikan oleh siapapun.
Selanjutnya pembagian wilayah pemukiman diatur dan dibagi
menjadi 7 Taranak, salah satunya adalah Kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas
Kamboyan, menuju ke dataran sekitar Danau Bulilin, tempat asal mereka semula
dan mendiami pemukiman di Bukit Batu, Kali dan Abur. Kelompok dan keturunan
mereka inilah yang disebut orang Toundanouw, yang berarti "orang yang
tinggal di sekitar air".
Pakasa'an Toundanouw berasal dari Pakasa'an Tountewoh, yang
terpecah menjadi 3 pakasa'an, yaitu Pakasa'an Tonsea, Pakasa'an Tondano dan
Pakasa'an Toundanouw.
Sedangkan Pakasa'an Toundanouw terdiri dari 2 walak, yaitu
walak Tombatu dan walak Tonsawang, yang sekarang menjadi etnis tersendiri di
wilayah kabupaten Minahasa Tenggara.
Walak Tombatu dan walak Tonsawang, hidup berdampingan di
satu wilayah di kabupaten Minahasa Tenggara, dan banyak terjadi perkawinan
silang di antara mereka, sehingga saat ini mereka lebih populer dengan sebutan
sebagai orang Tonsawang, tapi mereka juga tetap mengakui diri mereka sebagai
satu kesatuan sebagai orang Toundanouw.
2.8
Suku Tountemboan
Suku Tountemboan,
adalah salah satu sub-suku dari suku Minahasa, yang mendiami kabupaten Minahasa
bagian selatan di provinsi Sulawesi Utara. Populasi suku Tountemboan
diperkirakan lebih dari 150.000 orang.
tari perang "Cakalele"
suku Tountemboan |
Suku Tountemboan, berkedudukan di Minahasa bagian Selatan yang mendiami daerah Langowan, Tompaso, Kawangkoan, Sonder, Tareran, Tumpaan, Amurang dan daerah di sepanjang kuala Ranoyapo yaitu di daerah Motoling, Kumelembuai, Ranoyapo, Tompaso Baru, Modoinding, Tenga dan Sinonsayang.
Suku ini berasal dari pakasa'an Tompakewa yang terdiri dari 6 walak:
·
Tompaso
·
Langowan
·
Tombasian
·
Rumoong
·
Tongkimbut atas (Kawangkoan)
·
Tongkimbut bawah (Sonder).
Orang Tountemboan berbicara menggunakan bahasa
Tountemboan. Bahasa Tountemboan merupakan salah satu dialek dari bahasa
Minahasa.
Bahasa Tountemboan memiliki 2 dialek, yaitu:
Bahasa Tountemboan memiliki 2 dialek, yaitu:
·
dialek Matana’i (Sonder dan
sekitarnya)
·
dialek Makela’i meliputi kecamatan
Langowan, Tompaso’ dan sebagian Tompaso’ Baru.
Mitos leluhur orang Tountemboan, bahwa mereka juga berasal dari keturunan Lumimu-ut, tapi dengan versi yang sedikit berbeda. Menurut bentuk mitos ini, pada awalnya hanya ada lautan dan batu besar yang disapu oleh gelombang, dan setelah itu seekor bangau berkeringat, dari keringatnya menghasilkan seorang dewa perempuan yang disebut Lumimu-ut (Loeang-Sermata).
Dinasehati
oleh bangau itu akan keberadaan “negeri asali”, kemudian dia mengambil dua
genggam tanah yang ia sebarkan di atas batu, dan maka ia menciptakan dunia,
dimana ia menanam benih semua tanaman dan pohon, agar mirip dengan “negeri
asali”.
Setelah menciptakan bumi, Lumimu-ut naik ke gunung, lalu
angin barat bertiup dan membuatnya hamil. Seiring waktu ia melahirkan seorang
anak laki-laki, dan saat ia telah tumbuh menjadi dewasa, sang ibu menyuruhnya
mencari seorang istri, namun sejauh ia mencari, ia tidak menemukan satupun.
Maka Lumimu-ut memberinya tongkat yang panjangnya sama dengan tinggi badannya,
memintanya mencari seorang perempuan yang harus lebih pendek dari tinggi
tongkat ini, dan bila ia menemukan perempuan demikian, maka ia ditakdirkan
untuk menikahinya.
Ibu dan anak ini kemudian berpisah, satu pergi ke kanan dan
satu ke kiri, dan mereka keliling dunia, hingga akhirnya bertemu kembali, tanpa
saling kenal, dan saat sang anak mencocokkan tinggi badan ibunya dengan
tongkat, tinggi badan ibunya ternyata lebih pendek dari tongkat, karena tanpa
sepengetahuannya, tongkat itu bertambah panjang. Karena itu, maka ia pun menikahi
sang ibu, dan mereka melahirkan banyak anak, yang keturunannya menjadi leluhur
orang-orang Tountemboan..
2.9 Suku Tombulu
Suku Tombulu (Toumbulu), adalah salah satu suku tua di Tanah
Malesung (Proto Minahasa/ Minahasa Tua), yang terdapat di provinsi Sulawesi
Utara. Suku Tombulu, terkonsentrasi di Tomohon yang mendiami daerah kota
Tomohon, kecamatan Tombariri, kecamatan Pineleng, kecamatan Tombulu, kecamatan
Wori, Likupang Barat dan ibukota Sulawesi Utara kota Manado. Populasi suku
Tombulu diperkirakan lebih dari 60.000 orang pada sensus 1981.
Suku Tombulu, memiliki 8 walak (klan), yaitu:
Ø Tomohon (Tou Muung)
Ø Sarongsong
Ø Tombariri
Ø Kakaskasen
Ø Ares
Ø Maumbi (Kalawat Atas)
Ø Kalawat Wawa (Klabat Bawah) di Paniki
Ø Likupang.
Saat ini terdapat suatu Organisasi Adat Pakasaan Tombulu
yang aktif melestarikan dan mengembangkan budaya suku Tombulu, yang dipimpin
oleh mantan Wakil Walikota Tomohon Syennie-Smits Watoelangkow. Organisasi
masyarakat ini telah membangun suatu amfiteater dengan pemandangan indah ke
gunung Lokon yang masih aktif dan gunung Empung. Di tempat-tempat ini lah
dahulu suku Tombulu menganggap pemukiman dewa-dewa mereka. Di sekitar
amfiteater terdapat banyak mata air yang konon kabarnya bisa menyembuhkan
penyakit dan membuat lebih pintar.
Di kompleks Organisasi Pakasaan Tombulu yang bernama Rano
Walanda, terdapat banyak Waruga. Waruga adalah batu yang berlubang, yang pada
masa dahulu digunakan sebagai tempat meletakkan mayat orang di dalam dan
menutupinya dengan batu berukir besar. Lokasi amfiteater Rano Walanda terdapat
di desa Woloan I di kota Tomohon.
Asal-usul suku Tombulu, menurut cerita rakyat (legenda/ mitos) seperti yang ditulis Pdt.M.Ph. Wilken dan Graflaand, yang tersimpan secara turun temurun dalam masyarakat suku Tombulu, adalah nenek moyang pertama di Minahasa adalah Opo Toar dan Lumimuut. Menurut ceritanya mereka hanyut terbawa arus dari arah utara, lalu terdampar di pantai barat Minahasa, di batu karang yang dinamai Batu Kapal yang terletak di daerah Sapa (kecamatan Tenga kabupaten Minahasa Selatan sekarang). Mereka hanyut terbawa arus air bah. Dalam tulisan Dr. Riedels Zano Simezuk Wangko, air bah merendam seluruh dataran sampai ke puncak gunung Lokon, Gunung Mahwu, dan gunung Soputan.
Opo Toar dan Lumimuut, berdiam di sekitar gunung Wulur Mahatus. Kemudian pindah ke sekitar Niutakan dekat Tompasu Baru. Di Tempat baru ini Opo Toar kawin dengan Lumimuut. Setelah sekian lama ternyata jumlah mereka bertambah banyak dan memenuhi daerah itu, sehingga mereka mulai menyebar ke seluruh Malesun (Minahasa). Awalnya terdapat 25 kepala keluarga yang menyebar, salah satunya antara lain keluarga Pinontoan dan istrinya Ambilingan dengan 6 orang anaknya. Mereka datang ke dataran gunung Lokon. Keturunan dari keluarga inilah yang diyakini menurunkan "suku Tombulu".
Suatu tulisan di Facebook, yang diposting oleh Kennedy Polakitan, menceritakan penyebaran suku
Tombulu berdasarkan sejarah Minahasa. Pada awal penyebaran suku Tombulu sekitar
abad 10, suku Tombulu di Wanua Meijesu diperintah oleh Lumoindong putra dari
Walian Pukul, ditimpa wabah penyakit yang menewaskan banyak penduduk. Oleh
karena itu suku Tombulu terpencar dan keluar mencari pemukiman baru.
Tempat-tempat yang dituju sebagai pemukiman baru dan terbentuknya beberapa
walak pada suku Tombulu, adalah:
1 Tonaas Tumbelwoto, memimpin sebagian
orang Tombulu pergi tumani ke Wanua Tula’u hingga terbentuklah walak Saronsong,
2 Sebagian rakyat berpindah ke Kinilow
Tu’a. Tonaas Ka’awoan meninggalkan Kinilow Tu’a memimpin sebagian orang Tombulu
pergi kearah barat ke suatu tempat yang terdapat rumput yang dinamai Wariri,
sebagian orang yang menetap di sana disebut Touwariri, lalu sebutannya
menjadi orang Tombariri.
3 Selanjutnya dari sana sebagian
rakyat yang dipimpin oleh Walian Lokon Mangundap, Kalele, Apor, Karundeng,
Kapalaan, dan Posumah, mendirikan negeri baru yang dinamai Katinggolan
yang merupakan cikal bakal dari terbentuknya Wanua Woloan.
4 Tonaas Mokoagow juga meninggalkan
Kinilow Tu’a dan pergi tumani ke Wanua Mu’ung dan Kamasi membentuk Tou Mu’ung (Tomohon).
5 Tonaas Ticonumu dan Tuerah pergi
tumani ke Wanua Kakaskasen dan membentukWalak
Kakaskasen,
6 Tonaas Lolong lasut dan Ruru pergi
tumani ke Wanua Wenang dan Ares membentuk Walak Ares (di kota Manado sekarang).
7
Dari Kinilow Tu’a beberapa taranak
pergi tumani ke Wanua kali dari sana Tonaas Alow pergi melintasi sungai wenang
utara, lalu tumani ke Wanua Kalawat atas dan membentuk Kalawat atas yang
kemudian berubah menjadi Kalawat
Maumbi.
8
Dari Kalawat Atas keluar Tonaas
Kondoy, Wangko Saumanan pergi ke barat tumani ke Wanua Kalawat Kalewosan yang
kemudian menjadi Wanua ure, kini disebut Komo Luar. Kalawat Kalewosan ini
kemudian menjadi Kalawat Wawa,
ibu negeri Wanua ure.
9
Tonaas Kalengkongan beserta sebagian
rakyat meninggalkan Kalawat Atas dan Kalawat Wawa, pergi tumani ke Wanua
Likupang. Menimbulkan Walak
Likupang.
Jadi
suku Tombulu telah pecah menjadi beberapa walak. Tetapi pada abad 15, Tonaas
Dotulong, Tidajoh Koagow dari Pakasaan Tonsea telah merampas Wilayah Dimembe,
suatu wilayah yang sangat luas sekali.
Cakalele
|
Orang Tombulu dalam keseharian di dalam lingkungan sesama
orang Tombulu, menggunakan bahasa Tombulu. Bahasa Tombulu ini merupakan salah
satu dialek bahasa Minahasa. Bahasa Tombulu lumayan terkenal, karena beberapa
lagu daerah yang populer kebanyakan berasal dari bahasa Tombulu, seperti lagu
"O Ina Ni Keke".
Dalam
hal kepercayaan, seperti sub-suku Minahasa lain pada umumnya memeluk agama
Kristen, begitu pula suku Tombulu ini adalah pemeluk agama Kristen. Agama
Kristen telah lama berkembang dalam lingkungan masyarakat suku Tombulu,
Diperkirakan mereka memeluk agama Kristen sejak kehadiran bangsa Portugis,
Spanyol dan Belanda ke tanah Minahasa ini.
Masyarakat suku Tombulu pada dasarnya hidup sebagai petani.
Mereka menanam padi di sawah dan ladang. Selain padi mereka juga menanam
beberapa jenis sayur-sayuran dan buah-buahan. Juga beberapa tanaman keras
seperti cengkeh dan kopra.
3
Kepercayaan
dan Agama
Sistem Religi dalam masyarakat Minahasa dibagi menjadi dua,
yakni kepercayaan asli masyarakat (agama sakral) dan agama-agama wahyu.
1. Kepercayaan Asli Masyarakat Minahasa
Unsur-unsur religi pribumi masyarakat Minahasa masih nampak
dalam beberapa upacara adat yang dilakukan orang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa
sekitar lingkaran hidup individu, seperti masa hamil, kelahiran, perkawinan,
kematian, maupun dalam bentuk roh-roh leluhur dan kekuatan-kekuatan gaib dalam
hidup sehari-hari, yang baik maupun yang jahat. Orang Minahasa menyebut dewa
dengan Empung atau Opo. Dewa yang tertinggi
disebut Opo Wailan Wangko (Tuhan Allah). Ia dianggap sebagai
pencipta seluruh alam dan dunia serta segala isinya. Sesudah dewa tertinggi,
ada wujud di bawahnya yakni, Karema. Rupanya Karema merupakan
salah satu dari roh leluhur. Karema sendiri berarti ‘mitra,
teman (ka-) yang dihubungkan dengan makan sirih-pinang (lema)’
Opo ada
yang baik dan ada yang jahat. Opo yang baik akan senantiasa
menolong manusia yang dianggap sebagai cucu mereka, apabila mentaati
petunjuk-petunjuk yang diberikan mereka. Pelanggaran terhadap petunjuk itu
dapat mengakibatkan yang bersangkutan mengalami bencana, kesulitan hidup atau
hilangnya kekuatan sakti akibat murka dari Opo-opo tersebut.
Ada juga Opo-opo yang memberikan kekuatan sakti untuk hal-hal
yang tidak baik seperti untuk mencuri dan berjudi Opo masih dibagi
lagi ke dalam beberapa jenis, yakni: nenek moyang (dotu), Opo dari
setiap kerabat, makhluk-makhluk penghuni gunung, sungai, mata air, hutan,
tanah, pantai/laut, mata angin, dan Opo hujan.
Selain itu, orang Minahasa juga percaya akan makhluk-makhluk
halus seperti roh-roh leluhur, hantu-hantu, dan kekuatan-kekuatan gaib lainnya.
Bentuk makhluk halus itu bermacam-macam, yakni: mukur (arwah
dari orang yang telah meninggal tetapi masih berada di sekitar keluarganya yang
masih hidup), puntianak (arwah wanita yang mati dalam keadaan
hamil atau melahirkan dan suka mengganggu orang yang masih hidup), setang
mengiung-ngiung (sama dengan puntianak tetapi khusus
bagi kaum pria saja), pok-pok atausuanggi (sebangsa
drakula yang suka menghisap darah manusia yang masih hidup), panunggu (setan
yang menempati tempat-tempat tertentu), jin (sama dengan panunggu tetapi
selalu berkeliaran), dan lalu/lulu (sebangsa setan yang
menghuni hutan)
Masyarakat suku Minahasa juga memiliki kepercayaan bahwa ada
bagian-bagian tubuh, benda-benda, binatang dan tumbuh-tumbuhan serta ucapan
manusia (sumpah dan kutuk) yang memiliki kekuatan sakti. Konsep kejiwaan bagi
orang Minahasa tidak dibedakan dengan konsep roh. Unsur kejiwaan dalam hidup
manusia ialah ingatan/gegenang, perasaan/pemendam, dan
kekuatan/keketer. Tokoh tradisional yang melakukan dan memimpin
upacara-upacara keagamaan pribumi disebut walian atau tona’as.Mereka
berfungsi sebagai media untuk mendapatkan kekuatan sakti dari opo-opo dan
juga mengobati orang sakit dengan cara tradisional
2. Agama-Agama Wahyu dalam Masyarakat Minahasa
Umumnya orang Minahasa dikenal sebagai suatu komunitas
Kristen yang juga masih menerima beberapa unsur atau konsep tertentu dari religi
pribumi. Namun dalam kehidupan sehari-hari, unsur-unsur dari religi pribumi ini
berpadu dengan komponen-komponen Kristen dan membentuk sebuah sinkretisme. Hal
ini terlihat dalam upacara-upacara siklus hidup, pengobatan, dan perilaku
keagamaan sehari-hari. Dalam proses sinkretisme ini, unsur-unsur religi pribumi
mengalami penyesuaian maupun transformasi makna sehingga sejalan dengan agama
Kristen. Misalnya, Opo Wailan Wangko sebagai konsep dewa
tertinggi telah dilihat sebagai Tuhan Allah. Namun, di samping itu tentu
terjadi juga beberapa ketidaksesuaian persepsi emic dan etic atas
sinkretisme tersebut.
Agama-agama yang umum dipeluk oleh masyarakat Minahasa ialah
Protestan, Katolik, Islam, dan Budha. Sekarang ini Protestanisme merupakan
mayoritas (85%) di Minahasa. Penganut Islam sendiri terhitung 8% dari populasi
penduduk.
4.
Adat Istiadat
A.
Kelahiran
Jika ada bayi yang baru lahir hanya
diadakan syukuran.
B.
Perkawinan
Proses
Pernikahan adat yang dilakukan saat ini adalah mandi adat "Lumelek"
(menginjak batu) dan "Bacoho" karena dilakukan di kamar mandi di
rumah calon pengantin. Pagi hari memandikan pengantin, merias wajah, memakai
busana pengantin, memakai mahkota dan topi pengantin untuk upacara "maso
minta" (toki pintu). Siang hari kedua pengantin pergi ke catatan sipil
atau Departemen Agama dan melaksanakan pengesahan/pemberkatan nikah (di
Gereja), yang kemudian dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Pada acara in
biasanya dilakukan upacara perkawinan ada, diikuti dengan acara melempar bunga
tangan dan acara bebas tari-tarian dengan iringan musik tradisional, seperti
tarian Maengket, Katrili, Polineis, diriringi Musik Bambu dan Musik Kolintang.
Bacoho (Mandi Adat)
Setelah
mandi biasa membersihkan seluruh badan dengan sabun mandi lalu mencuci rambut
dengan bahan pencuci rambut yang banyak dijual di toko, seperti shampoo dan
hair tonic. Mencuci rambut "bacoho" dapat delakukan dengan dua cara,
yakni cara tradisional ataupun hanya sekedar simbolisasi.
Tradisi : Bahan-bahan ramuan yang digunakan adalah parutan kulit
lemong nipis atau lemong bacoho (citrus limonellus), fungsinya sebagai pewangi;
air lemong popontolen (citrus lemetta), fungsinya sebagai pembersih lemak kulit
kepala; daun pondang (pandan) yagn ditumbuk halus, fungsinya sebagai pewangi, bunga
manduru (melati hutan) atau bunga rosi (mawar) atau bunga melati yang
dihancurkan dengan tangan, dan berfungsi sebagai pewangi; minyak buah kemiri
untuk melemaskan rambut dicampur sedikit perasan air buah kelapa yang diparut
halus. Seluruh bahan ramuan harus berjumlah sembilan jenis tanaman, untuk
membasuh rambut. Sesudah itu dicuci lagi dengan air bersih lalu rambut
dikeringkan.
Simbolisasi : Semua bahan-bahan ramuan tersebut dimasukkan ke dalam
sehelai kain berbentuk kantong, lalu dicelup ke dalam air hangat, lalu kantong
tersebut diremas dan airnya ditampung dengan tangan, kemudian digosokkan
kerambut calon pengantin sekadar simbolisasi.
Lumele’ (Mandi Adat): Pengantin disiram dengan air yang telah diberi
bunga-bungaan warna putih, berjumlah sembilan jenis bunga yang berbau wangi,
dengan mamakai gayung sebanyak sembilan kali di siram dari batas leher ke
bawah. Secara simbolis dapat dilakukan sekedar membasuh muka oleh pengantin itu
sendiri, kemudian mengeringkannya dengan handuk yang bersih dan belum pernah
digunakan sebelumnya.
Upacara Perkawinan : Upacara perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah
satu rumah pengantin pria ataupun wanita. Di Langowan-Tontemboan, upacara
dilakukan dirumah pihak pengantin pria, sedangkan di Tomohon-Tombulu di rumah
pihak pengantin wanita.
Orang Minahasa di kota-kota besar
seperti kota Manado, mempunyai kebiasaan yang sama dengan orang Minahasa di
luar Minahasa yang disebut Kawanua. Pola hidup masyarakat di kota-kota besar
ikut membentuk pelaksanaan upacara adat perkawinan Minahasa, menyatukan seluruh
proses upacara adat perkawinan yang dilaksanakan hanya dalam satu hari (Toki
Pintu, Buka/Putus Suara, Antar harta, Prosesi Upacara Adat di Pelaminan).
C.
Kematian
1. Sesaat setelah seseorang meninggal
warga sekitar (jaga,kolom/RT) gotong royong membantu keluarga bangun bangsal ,
menyiapkan konsumsi bagi para pekerja yang membangun bangsal dan bagi para
pelayat.
2. Malamnya ibadah dan " Masamper
" / memberikan penghiburan kepada keluarga yang berduka dengan menyanyikan
lagu-lagu rohani atau lagu tempo dulu ; menemani keluarga jaga mayat / jenazah.
3. Upacara pemakaman didahului dengan
ibadah. Susunan Ibadah Pemakaman biasanya meliputi :
Sambutan/ kata-kata penghiburan
Pemerintah desa
Dari gereja
Sesuai permintaan keluarga
Kalau keluarga mempunyai hubungan
dengan organisasi lain, maka organisasi itu akan diberikan kesempatan untuk
menyampaikan kata-kata penghiburan dan diakonia
· Pembacaan
Riwayat hidup (dibacakan oleh anak tertua atau cucu tertua ).
· Sebelum Ibadah selesai/ditutup. Bersama-sama dengan masyarakat dan jemaat
mengantar jenazah keliang lahat
· Apabila
yang meninggal itu adalah tokoh jemaat (mantan pelsus) jenazah dibawa
kegereja dan jenazah disemayamkan di gereja dilanjutkan dengan ibadah
· Apabila
dia tokoh masyarakat (pernah menjadi kuntua, kepala jaga / perangkat desa) di
bawa di kantor hokum tua / balai desa untuk mengenangkan jasa-jasa dari yang
meninggal semasa dia hidup dan dilaksanakan pelepasan
· Sekembalinya
dari lahan pekuburan bersama-sama dengan keluarga kemudian keluarga telah
menyiapkan konsumsi ringan untuk sekedar melepas lelah dari ladang pekuburan.
5.
Bahasa
Dalam hidup harian, suku Minahasa biasa menggunakan bahasa
Indonesia yang dipadukan dengan logat Melayu Manado atau yang disebut bahasa
Melayu Manado. Bahasa ini adalah bahasa umum yang dipergunakan dalam komunikasi
antar orang-orang dari sub-sub etnik Minahasa maupun dengan penduduk dari
suku-suku bangsa lainnya. Di daerah perkotaan, orang memakai Melayu Manado sebagai
bahasa ibu, menggantikan bahasa pribumi Minahasa. Pengaruh Melayu Manado ini
juga sudah mulai terlihat di desa-desa. Generasi terakhir sudah kurang
mengetahui bahasa pribumi mereka. Proses indigenisasi Melayu Manado ini
berlangsung dengan pesat dan membentuk suatu ciri identitas etnik dan bagian
dari sistem budaya Minahasa.
Mengenai bahasa pribumi, di Minahasa terdapat 8 bahasa
sesuai dengan jumlah sub etnik suku Minahasa, yakni bahsa Tombulu, Tonsea,
Tondano (Toulour), Tontemboan, Tonsawang, Pasan (Ratahan atau Bentenan),
Ponosakan, dan Bantik. Ketiga yang terakhir ini dekat dengan bahasa
Sangir-Talaud, sedangkan lima bahasa yang besar lainnya berasal dari satu
rumpun, yaitu Proto-Minahasa Bahasa Tontemboan kini mempunyai pengguna
terbanyak, diikuti dengan bahasa Tombulu, Tondano di posisi ketiga dan kemudian
Tonsea. Dahulu bahasa Tombulu dipakai dalam nyanyian, puisi, doa dan peribahasa
di seluruh Minahasa, tetapi sekarang ini jumlah pemakainya sudah berkurang dan
kenyataan membuktikan bahwa banyak orang Tombulu tidak lagi menggunakannya.
Sebaliknya, bahasa Tonsea dan Tontemboan kini sedang naik pamor dan dipakai
secara aktif dan terbuka di muka umum.
6.
Mata Pencaharian
Beberapa mata pencaharian masyarakat Minahasa yang dibahas
penulis dalam tulisan ini, yakni:
a.
Berburu/meramu
Pada zaman dahulu jenis mata pencaharian ini merupakan salah
satu mata pencaharian pokok, tetapi kini tidak lagi ditemukan dalam masyarakat
Minahasa. Sudah sejak lama masyarakat Minahasa mampu menggarap tanah dan
mengusahakannya bagi kehidupan mereka. Dahulu di beberapa tempat masyarakat
mempunyai mata pencaharian berburu babi hutan, babi rusa (langkow), sapi
hutan/anoa, dan rusa. Demikian pula penduduk peramu pada zaman dahulu ada yang
meramu damar, rotan, dan sebagainya. Kini, berburu hanya merupakan pekerjaan
sambilan atau hanya untuk mencari kesenangan saja.
b.
Pertanian
Sektor ini merupakan mata pencaharian pokok masyarakat
Minahasa dalam arti bahwa pertanian menempati urutan teratas atau merupakan
mayoritas sumber ekonomi masyarakat. Sudah sejak masa sebelum Perang Dunia II
berkembang perkebunan rakyat dengan tanaman-tanaman industri, terutama kelapa,
cengkeh, kopi, dan pala. Sekarang ini komoditi pertanian lain, yaitu coklat,
vanili, jahe putih, dan jambu mente mulai digiatkan secara intensif dengan
metode dan teknologi modern. Tanah pertanian – sawah atau ladang – di Minahasa
dimiliki baik oleh perorangan/milik sendiri (pasini) yang diperoleh
berdasarkan warisan atau pembelian maupun secara bersama (kalekeran)
yang digarap secara mapalus.
Sistem bercocok tanam di ladang (uma atau kobong
kering) biasanya bersifat menetap dan ditanami jagung sebagai tanaman pokok
dan diselingi dengan padi ladang, sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan,
umbi-umbian dan rempah-rempah.
c. Perikanan
Perikanan merupakan salah satu sektor mata pencaharian yang
berkembang baik dalam masyarakat Minahasa. Hal ini didukung oleh
program-program pemerintah yang mendirikan Balai-balai Benih Ikan (BBI) di
beberapa daerah di Minahasa. Selain itu, juga ada peralihan dari teknologi
tradisional dalam bidang perikanan ke dalam teknologi modern yang membuat usaha
perikanan semakin produktif, misalnya dengan ‘motorisasi’ perahu penangkap
ikan. Sama seperti di daerah-daerah lainnya, penduduk Minahasa yang bermukim di
pesisir-pesisir pantai mempunyai mata pencaharian pokok menangkap ikan. Usaha
pemerintah dalam dalam memajukan sektor perikanan laut terlihat di daerah
Aertelaga, dengan mendirikan lembaga usaha penangkapan dan pengolahan ikan cakalang.Berbagai
jenis ikan yang juga ditangkap antara lain, tongkol, roa (julung-julung),
sardin (japuh), kembung, ikan layang (mamalugis), ikan batu, dan
kura-kura (tuturuga). Hasil perikanan baik darat maupun laut ini
kemudian dibawa ke pasar-pasar di ibukota kecamatan, kabupaten, atau ke Manado
yang kemudian dibawa juga ke daerah-daerah lain di luar Minahasa.
d. Peternakan
Peternakan tidak terlalu memegang peranan penting sebagai
sumber ekonomi masyarakat Minahasa. Ternak yang dipelihara dalam masyarakat Minahasa
berupa sapi, babi, ayam, bebek, kuda, anjing, angsa, tetapi hanya dalam jumlah
kecil saja. Namun terdapat juga pasar ternak (belante) di beberapa
daerah. Ternak biasanya berfungsi sebagai pembantu tenaga kerja dalam bidang
pertanian, transportasi, penjaga rumah, dan sering juga dipakai sebagai mas
kawin.
e. Kerajinan
Pada umumnya hasil kerajinan masyarakat Minahasa dikerjakan
oleh wanita. Kerajinan itu berupa tikar, topi, dan alat-alat rumah tangga yang
terbuat dari sejenis daun tumbuh-tumbuhan, rotan, silar, pandan, sejenis bambu
(lou/dames), dan bambu kecil yang disebutbulu tui. Terdapat
juga pembuatan alat-alat rumah tangga dari tanah liat berupa tembikar,
jambangan, pot-pot bunga, piring, dan mangkok. Hasil-hasil kerajinan tersebut
diperdagangkan penduduk sampai ke pelosok-pelosok Minahasa.
7.
Seni Dan Budaya
Kesenian
Berikut adalah beberapa bentuk kesenian yang terdapat dalam
masyarakat Minahasa.
Ø
Tarian
perang yang disebut tari cakalele (mahasasau), merupakan perpaduan tari
Spanyol yang telah mengalami perubahan di Ternate, dan kemudian masuk ke
Minahasa. Berupa gerakan-gerakan perang; menantang, mengejar dan menghindari
musuh dengan gerakan ke kiri serta ke belakang atau dengan lompatan menyerang
musuh. Tarian ini diperagakan dalam berbagai kesempatan, seperti penyambutan
tamu, pembangunan, penarikan kayu, dan pesta-pesta adat. Selain itu, ada juga
tarian lain yang diiringi dengan nyanyian, seperti tarian padi (makanberu),
tarian naik rumah baru (merambak), dan tarian muda-mudi (lalayapan)
Ø Kesusasteraan suci masyarakat Minahasa
dikenal dengan istilah masambo (meminta doa). Masambo memiliki
perbedaan versi di tiap sub-suku Minahasa. Isi dari masambo tidak
lain adalah doa permohonan kepada yang berkuasa agar tetap memelihara, menjaga,
memberkati, memberikan restu, meminta rejeki, dan sebagainya yang biasa
dijumpai pada bidang pertanian, perkawinan, naik rumah baru, kelahiran,
kematian, dan sebagainya. Selain itu isinya juga mengandung nasehat-nasehat
atau anjuran-anjuran yang harus diperhatikan sebagai pedoman hidup.
Syair-syair masambo biasanya dinyanyikan menurut irama
tertentu.
Ø
Ada
juga berbagai ungkapan, pepatah,simbol, dan perumpamaan yang dimiliki oleh
masyarakat suku Minahasa, terutama oleh orang-orang tua yang bermukim di desa-desa.
Misalnya, Sa lumampang, lumampang yo makauner; arti
harafiahnya: “kalau berjalan, berjalanlah ke dalam (tengah) atau bila masuk
jangan setengah-setengah, melainkan masuklah ke dalam”. Pengertiannya, bila
melaksanakan suatu pekerjaan, janganlah setengah-setengah melainkan kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh. Selain itu masih
berbagai pepatah dan ungkapan lain. Simbol yang ada dalam masyarakat Minahasa,
misalnya hiasan-hiasan berupa kain merah di kepala melambangkan kesatriaan dan
keberanian, sayap bulu burung manguni (burung hantu) yang
diikatkan di kepala menyimbolkan kebesaran dan keagungan, dan parang dan
perisai sebagai lambang siap bertempur, siap berjuang membela tanah air.
Ø Dalam bentuk pakaian atau tenunan, ada dua
jenis tenunan. Yang pertama dan paling kasar adalah kadu/wau, yaitu
kain panjang yang dapat dibuat rok wanita atau kemeja. Kain tersebut juga
dipakai sebagai layar perahu pribumi, tirai serambi rumah, ataupun sebagai
karung untuk mengangkut beras atau padi. Yang kedua ialah kain tenunan yang
terbuat dari kapas dari pohon yang tumbuh di Minahasa. Kapas ini cukup baik dan
halus, tetapi hasil tenunannya cenderung kasar. Biasa digunakan sebagai sarung
dan alas pada tempat duduk orang besar atau ulama. Para wanita Minahasa juga
membuat tolo, tutup kepala berbentuk kerucut dengan berbagai
ukuran, terbuat dari daun silar dengan berbagai warna yang
mencolok. Sayangnya, kini berbagai kesenian dalam bentuk tenunan ini sudah
hilang dari kehidupan masyarakat Minahasa yang mulai terhanyut oleh arus
kehidupan modern.
Ø Tari Katliri
Pada abad ke-16, Portugis dan
Spanyol yang sedang menjajah Indonesia mewariskan sebuah tarian berirama
country yang dinamakan Tari Katliri. Tarian ini mengisahkan tentang kehidupan
para remaja suku Minahasa, yang digambarkan dengan gerakan yang dinamis dan
lincah serta wajah yang terlihat bahagia. Tarian ini tetap dilestarikan suku
Minahasa walaupun kostum dari penari Katliri ini memperlihatkan ciri khas
budaya Eropa.
Ø Tari Maengket
Selain tari Katliri, suku Minahasa
masih mempunyai tari Maengket. Tarian yang juga mengisahkan kehidupan remaja
suku Minahasa ini dahulu dilakukan ketika panen hasil pertanian. Tarian ini
terdiri dari 3 babak yaitu Maowey Kamberu, Marambak, dan Lalayan.
Ø Alat Musik Bambu
Alat musik bambu ini terus
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Setelah berkembang menjadi suling
bambu, alat musik bambu sekarang sudah berkembang menjadi Musik Bambu Seng
Klarinet (MBSK). Dahulu, alat musik ini terbuat dari Bulu Tui (bambu kecil) dan
sekarang telah menggunakan bahan steinless (vernekel).
Ø Alat Musik Kolintang
Alat musik pengiring tari Katliri
ini terbuat dari kayu yang cara dimainkannya dengan dipukul. Alat musik ini
dapat mengeluarkan nada rendah maupun tinggi dan bunyinya cukup panjang. Dan
karena itu, suara Tong (nada rendah), Ting (nada tinggi), dan Tang (nada
tengah) menginspirasi suku Minahasa memberi nama Kolintang untuk alat musik
tersebut.
Kebudayaan
di Minahasa
1.
Pengucapan
syukur. Pengucapan syukur merupakan tradisi masyarakat Minahasa yang mengucap
syukur atas segala berkat yang telah Tuhan berikan. Biasanya pengucapan syukur
dilaksanakan setelah panen dan dikaitkan dengan acara keagamaan untuk mensyukuri
berkat Tuhan yang dirasakan terlebih panen yang dinikmati.
2.
Budaya
mapalus. Mapalus merupakan sebuah tradisi budaya suku Minahasa dimana dalam
mengerjakan segala sesuatu dilakukan secara bersama-sama atau gotong royong.
Budaya mapalus mengandung arti yang sangat mendasar. Mapalus juga dikenal
sebagai local Spirit and local wisdom masyarakat di Minahasa
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar